Tikam Samurai - 125

Terdengar suara seorang lelaki. Dan sebagai jawaban suaranya itu terdengar tertawa terkekeh.
“Ini Judi Sutan. Tak ada kata-kata curang. Mulut Sutan berbisa kami dengar. Apakah Sutan muak hidup…” suara lain mengancam.
Dan pemilik kedai serta orang-orang lain nampaknya tak mau ikut campur. Mungkin disebabkan dua hal kenapa mereka lebih baik diam saja. Pertama memang sudah biasa dalam setiap perjudian disudahi dengan pertengkaran. Atau sebab kedua adalah karena penjudi-penjudi itu orang bagak.
Kemungkinan ini bisa saja terjadi. Dan sebentar saja setelah suara tadi, kini terdengar orang main hantam. Perempuan didepan si Bungsu terpekik. Tegak berlari kearah perjudian itu. Dan saat itu pula lelaki yang meminjam gelangnya terpental. Jatuh melabrak meja.
Meja terjungkir. Dua buah stoples yang berisi paniaram jatuh pecah. Perempuan itu menangis memeluk lelaki tersebut. Nampaknya mereka adalah suami isteri yang baru menikah. Tak diketahui apa sebabnya sampai terseret ke meja judi ini. Mungkin suaminya ini pencandu judi pula. Hingga tak segan-segan meminta gelang isterinya seleha kalah dalam tahap pertama. Pada tahap kedua, gelang istrinya ludes dan dia kena terjang pula.
“Kalau akan berkelahi diluar lah Datuk. Jangan dalam lapau saya!” pemilik kedai berkata perlahan. Aneh, dia berkata perlahan saja. Padahal meja dan stoples serta kuenya berserakkan. Dari nada pembicaraan ini setiap orang bisa tahu, betapa pera penjdui itu amat ditakuti.
Dan benar saja, orang yang dipanggil Datuk itu tertawa menggerendeng.
“Berani waang melarang saya kini ya Murad? Apakah ingin saya panggang lapau waang ini?”
Pemilik kedai tak menjawab. Dengan menunduk habis-habisan dia membenahi meja dan toplesnya yang berserakkan.
Dan lelaki yang dipanggil dengan sebutan Datuk itu maju. Melihat ke arah gulai dan sambal yang terletak dalam panci. Matanya menatap liar. Kemudian tangannya beraksi. Dengan tangan telanjang, dia mengacau panci yang dipenuhi gulai ayam.
Kemudian mengambilnya sepotong. Lalu duduk di kursi dimana perempuan muda tadi duduk. Persis berhadapan dengan si Bungsu. Dia mengunyah gulai ayam itu dengan rakus. Sementara tangannya hingga ke pergelangan dipenuhi kuah.
Dan sambil mengunyah gulai ayam itu, matanya tiba-tiba terpandang pada jari manis si Bungsu. Kunyahnya terhenti.
“Hmm, cincin berlian…” desisnya menatap lurus-lurus pada cincin itu. Lalu tiba-tiba saja tangannya yang berkuah-kuah itu menyambar tangan kiri si Bungsu. Memegangnya kuat-kuat lalu menatap cincin itu.
Kemudian dia tertawa menyeringai sambil menatap si Bungsu.
“Hei, waang mau menjual cincin ini pada saya buyung…?” katanya.
Si Bungsu menggeleng.
“Saya beli dengan harga tinggi. Berapa waang mau menjual?”
“Ini tanda mata dari adik saya. Saya tak berniat menjualnya…” si Bungsu menjawab perlahan.
“Ahh. Pasti tanda mata dari gendak waang. Bikin apa dia waang pikirkan. Cukup banyak betina lain yang bisa waang bawa tidur. Ayo jual saja pada saya..” Datuk itu masih berkata sambil mengguncang tangan si Bungsu.
Dia menarik nafas panjang. Lalu menggeleng. Dia berusaha menahan marahnya.
“Saya tak berniat menukarnya atau menjualnya pak…” jawabnya.
“Hei, akan saya buktikan pada waang, bahwa cukup banyak perempuan yang bisa ditiduri. Saya lihat waang dari tadi berminat pada perempuan itu..” Datuk ini menunjuk dengan mulutnya ke arah perempuan yang tadi duduk di depan si Bungsu. Yang kini duduk dikursi lain bersama suaminya.
Datuk itu bangkit. Tiga temannya tertawa menyeringai dari sudut memperhatikan.
“Jangan mengganggu bini orang di lapau ini Datuk…” pemilik kedai tadi coba memperingatkan. Sebab kedainya bisa jadi lengang kalu terjadi hal-hal yang tak baik pada orang yang singgah makan.
Namun ucapannya baru saja habis ketika tangan Datuk itu mendarat dipipinya. Suara tamparannya keras. Dan bibir pemilik kedai itu pecah!
“sekali lagi waang mencampuri urusan saya Murad, saya jemur waang seperti dendeng di labuah sana…” ancamnya.
Dan dia meneruskan langkah ke dekat perempuan muda itu.
“Hei, upik manis. Laki upik baru saja kalah berjudi. Kenapa kau mau berlaki dengan penjudi tanggung seperti dia? Lebih baik kau menikah dengan anak muda itu. Lihat, dia punya cincin berlian. Hayo kuantar kau padanya…!”



@


Related Posts

Tikam Samurai - 125