Berkata begitu. Datuk itu menyentakkan tangan perempuan mud atersebut.
Perempuan itu terpekik. Suaminya bangkit. Namun sebuah terjangan membuat tubuhnya tercampak ke luar. Melihat kejadian ini, enam orang lelaki lain yang ada dalam kedai itu cepat-cepat membayar makanan mereka dan pergi meninggalkan kedai itu. Menghindar dari bencana yang akan timbul.
Nampaknya Datuk dan ketiga koleganya adalah “orang bagak” di kota ini. Sebab kalu tak demikian, mustahil dia akan mau berbuat seperti itu. Stasiun kereta api ini terletak persis ditengah kota. Dan ditengah kota ini dia mau berbuat demikian, sungguh suatu perbuatan yang bagak benar.
Tangan perempuan itu derenggutkannya. Dan sekali dorong, perempuan itu terlempar ke pangkuan si Bungsu. Perempuan itu bangkit kemudian menampar wajah si Bungsu beberapa kali.
Si Bungsu tetap duduk dan tetap diam. Datuk penjudi itu tertawa terkekeh-kekeh.
“Hei buyung, kalau dia menampar lelaki, itu tandanya dia mengajak ke tempat tidur, bawalah dia!”
“Saya mau menjual cincin ini..” tiba-tiba suara si Bungsu bergema. Datuk itu terhenti tertawa. Dia mendekat. Orang-orang lai pada terdiam.
“Naah, itu bagus. Berapa waang jual?”
“Tidak dengan uang. Saya ingin bertukar…” si Bungsu berkata dengan kepala masih menunduk.
“Bagus! Bagus! Dengan apa? Dengan perempuan muda ini? Boleh!”
“Tidak!”
“Lalau dengan apa?”
“Dengan kepalamu, Datuk!”
Masih ada enam lelaki dan tiga perempuan lagi dalam kedai itu. Dan mereka semua mendengar suara anak muda itu dengan jelas. Datuk itu terdiam.
“Rasanya saya salah dengar. Dengan apa waang berniat menukar cincin berlian waang itu buyung….?”
Masih dengan kepala menunduk, dan dengan ketenangan yang luar biasa, si Bungsu menjawab.
“Dengan kepalamu, Datuk!” Dan suara anak muda ini lagi-lagi membuat isi kedai itu seperti mengkerut karena takut. Takut akan akibatnya. Yaitu pada amarah yang bakal menyembur dari diri Datuk itu.
Tapi anehnya Datuk itu tak berang. Dia justru tertawa terkekeh-kekeh. Sampai berair matanya karena tertawa. Orang-orang jadi heran. Namun tetap terdiam ditempatnya. Tak seorangpun yang berani beranjak.
“Kalian dengar Kudun? Muncak? Si buyung ini berniat menukar kepala saya dengan cincinnya. Haa…haa…haa. Hu…hu..hu. Baik. Saya tukar kepala saya dengan cincin waang. Tapi bagaimana caranya waang akan mengambil kepala saya?”
Dengan masih menunduk, anak muda itu berkata lagi dengan seluruh ketenangan yang ada padanya.
“Saya mampu mengambilnya Datuk. Saya bisa mengambil kepala Datuk dengan tangan saya…!”
“Bagaimana kalau waang tak bisa?”
“Cincin dan kepala saya jadi tukarannya…!”
Lelaki itu tiba-tiba berteriak mengejutkan semua orang ada di kedai itu.
“Hei, kalian dengar : anak muda ini berkata akan mampu mengambil kepala saya dengan tangannya. Kalau dia tidak bisa, maka kepalanya dan cincin berlian ditangannya dia berikan kepada saya. Kalian jadi saksi semua. Dengar?!. Dengar?! He?”
Semua yang ada dalam kedai itu mengangguk seperti balam. Mengangguk karena takut.
“Nah anak muda, sudah banyak saksinya. Sekarang cobalah ambil kepala saya. Usahkan mengambilnya, bisa saja waang menjamah rambut saya, maka saya akan meminum kencing waang!”
Dan lelaki itu tegak berkacak pinggang dihadapan si Bungsu. Jaraka mereka hanya dipisahkan oleh meja makan. Si Bungsu jadi muak. Dia tahu benar tipe lelaki ini. Pejudi, pemerkosa anak bini orang. Dan terakhir kerjanya pastilah mengkhianati bangsanya.
Mustahil dia akan berani berbuat onar seperti ini dijantung kota yang dikuasai Jepang kalau dia tak punya tulang punggung. Dan si Bungsu yakin, bahwa orang bagak ini adalah cecunguk Jepang.
“Berapa orang anakmu yang akan yatim piatu kalau engkau mati?” si Bungsu bertanya dengan suara dingin. Tanya ini sebenarnya bukan untuk menyakiti hati lelaki itu. Tapi pertanyaan yang jujur. Kalau saja lelaki itu menjawab dengan jujur mengatakan bahwa anaknya banyak, maka mungkin si Bungsu takkan menurunkan tangan jahat.
Tetapi lelaki yang dasarnya pongah, jadi amat tersinggung.
“Jangan banyak cakap waang buyung. Kalau dalam lima hitungan waang tak berhasil memegang rambut saya, waang akan saya jadikan “anak jawi” pemuas selera saya…..hee…hee…!”
@
I. Tikam Samurai