Tikam Samurai - 127

“Baiklah, engkau yang menghendaki…” si Bungsu berkata perlahan.
“Satu…dua…!” lelaki itu mulai menghitung. Ketika mulutnya akan mengana menyebut tiga, saat itulah si Bungsu menyambar samurai didepannya. Samurai itu berkelabat sangat cepat. Dan tak seorangpun yang tahu bagaimana terjadinya. Apa penyebabnya.
Yang terlihat setelah itu adalah, kepala lelaki itu putus dan tercampak keluar kedai. Tubuhnya jatuh dan menggelinjang-gelinjang seperti ayam disembelih. Darah menyembur-nyembur kemana-mana. Sudah itu diam!
Suara pekik dan gaduh terdengar. Isi kedai tercekam diam tak bisa keluar karena merasa lumbpuh melihat kejadian yang mengerikan itu.
Dan kegemparan itu sampai ke telinga Kempetai yang posnya hanya berjarak dua ratus meter dari stasiun itu.
“Anak muda. Lihatlah. Kempetai datang. Datuk itu kaki tangan Kempetai. Sudah banyak pejuang-pejuang dan penduduk yang jadi korban Datuk itu. Datuk itu tukang tunjuk. Mata-mata Jepang. Pergilah sebelum engkau ditangkap…”
Pemilik kedai itu berkata dengan gugup. Sementara ketiga teman Datuk itu terhenyak di tikar ditempat mereka berjudi tadi. Usahkan untuk bangkit, untuk bernafaspun mereka takut. Mereka benar-benar seperti melihat hantu pada anak muda itu.
Dalam sekali tebas, kepala Datuk Hitam putus. Siapa bisa menyangka? Siapa tak kenal Datuk Hitam? Juara silat dan orang yang sangat ditakuti di Luhak Lima Puluh ini. Tapi kini anak muda itu telah menebas kepalanya dengan penuh ketenangan.
Ketiga teman Datuk itu tak berani bergerak. Malah yang bernama Sarip, celananya telah basah sendiri. Si Bungsu melihat pada pemilik kedai itu. Kemudian menghela nafas. Dia menghirup kopinya dengan tenang. Dan tetap pula duduk dengan tenang.
Di luar terdengar orang berbisik-bisk. Kempetai datang! Empat orang Kempetai muncul dihadapan kedai itu. Keempatnya tertegak kaget melihat kepala Datuk Hitam yang tergolek dengan mata mendelik. Dan serentak keempat Kempetai itu memandang ke dalam kedai. Belum begitu jelas. Sebab diluar cahaya sangat terang. Di dalam kedai itu agak samar-samar.
“Tangkap semya yang ada dalam lapau itu…!” terdengar perintah salah seorang dari ke empat Kempetai tersebut. Tiga diantaranya menyerbu masuk. Namun sebuah suara yang dingin menghentikan gerakan mereka.
“Saya yang membunuh Datuk itu. Kalau akan ditangkap, cukup saya sendiri…”
Ketiga Kempetai itu menoleh. Dan mereka tersurut takkala melihat siapa yang bicara sambil menghirup kopi itu.
“Bungsu…!!” tanpa dapat ditahan, mulut mereka bicara serentak. Si Bungsu hanya diam. Tapi semua orang yang ada dalam kedai itu pada menatap padanya. Si Bungsu! Siapa yang tak pernah mendengar nama itu? Dan kini ternyata anak muda itu muncul dihadapan mereka.
Sopir truk yang membawa si Bungsu pun menoleh padanya. Dia jadi ternganga. Benar-benar tak dia sangka, penumpangnya yang pendiam itu ternyata si Bungsu. Si Bungsu yang namanya jadi buah bibir itu. Dia jadi malu kenapa tak melayani anak muda ini dengan hormat.
Ketiga Jepang itu berlari keluar. Berkata kepada komandan yang memerintahkan untuk menangkapi semua isi kedai itu. Komandannya ini tertegun mendengar laporan ketiga bawahannya, ia bergegas masuk. Dan tertegak dipintu begitu melihat si Bungsu.
“Bungsu…! mulutnya juga berkata tertahan.
Lambat-lambat si Bungsu menatap padanya. Kemudian berkata perlahan.
“Ya. Sayalah si Bungsu. Ingin menangkap saya sekarang?”
Kempetai yang berpangkat Go Cho (Sersan dua) itu cepat-cepat menggeleng.
“Tidak! Tak seorangpun diantara balatentara Jepang yang boleh menangkap si Bungsu. Panglima Pasukan Balatentara Dai Nippon di Sumatera telah menjamin kebebasanmu sejak pertarungan dengan Overste Akiyama di Bukittinggi. Tentara Jepang tak pernah memungkiri janjinya…”
“Tapi saya telah membunuh kaki tangan kalian. Mata-mata kalian”
“Oh itu… itu resiko dirinya sendiri. Hai” berkata begitu Go Cho ini membungkuk memberi hormat, kemudian memerintahkan beberapa penduduk mengangkat mayat Datuk Hitam itu. Lalu cepat-cepat meninggalkan kedai itu.
Si Bungsu menarik nafas. Dia menoleh pada ketiga teman Datuk Hitam yang masih terduduk di sudut ruangan. Dengan tubuh menggigil dan muka pucat.
“”Lelaki itu….” Kata si Bungsu sambil menunjuk pada suami perempuan muda yang menamparnya tadi. “tadi kalah main dengan kalian. Dan kali kedua dia menggadaikan gelang isterinya. Kini kembalikan semua padanya…”
“Teta…tetapi…semuanya ada pada Datuk….” Ucapannya terputus ketika melihat si Bungsu meraih samurainya.
“Yiy…ya..yay… Ya! Pada kami ada, kami kembalikan…” dengan pucat dan menggigil dia merogoh kantong. Mengambil segenggam uang. Lalu mengode temannya. Temannya merogoh kantong pula. Kemudian mengeluarkan sebuah gelang.



@


Related Posts

Tikam Samurai - 127