Tikam Samurai - 128

Si Bungsu menoleh pada suami perempuan muda itu.
“Ambillah….” Katanya perlahan. Lelaki itu bergerak ke arah ketiga pejudi tersebut. Menerima uang dan gelang isterinya kembali.
“Nah, kalian yang bertiga, dengarlah. Kalian harus meninggalkan Luhak Lima Puluh ini segera. Kalau sore nanti kalian masih saya lihat di Luhak ini, atau lain kali saya dengar kalian masih membuat huru hara, saya akan cari kalian. Dan saya akan menebas kepala kalian seperti menebas kepala Datuk itu. Kini pergilah!”
Ucapan si Bungsu baru saja habis, ketika ketiganya lari berhamburan. Yang satu lari terbirit-birit lewat pintu, yang dua lagi mengambil jalan singkat, yaitu meloncat dari jendela di dekat mereka. Ketiganya lenyap. Ya, bagi mereka itulah saat yang paling berbahagia. Berbahagia terlepas dari elmaut.
Saat itu juga mereka tak kembali ke rumah. Tapi terus cigin meninggalkan Luhak Lima Puluh itu seperti yang diperintahkan si Bungsu. Tak seorangpun yang tahu kemana mereka lenyap.
Kini keadaan dalam kedai sepi. Si Bungsu kembali menoleh pada suami perempuan muda itu. Ia berkata perlahan-lahan.
“Hei sanak. Saya dulu juga pejudi. Tapi saya tidak hanya sekedar pejudi kelas murahan. Saya raja judi dinegri ini.Tak pernah saya kalah dalam tiap permainan. Tapi ketahuilah, hidup saya tak pernah tenang. Sedangkan saya yang selalu menang hidup tak tenang, apalagi kalau selalu kalah. Nah, saya pesankan pada sanak, lebih baik mencangkul daripada harus berjudi. Istrimu seorang perempuan lembut dan cantik. Bagaimana kalau tadi dia sempat dilaknati oleh Datuk itu?”
Lelaki itu menunduk.
“Terimakasih sanak. Terimakasih. Saya berhutang budi pada sanak…”
Lelaki itu berkata perlahan. Matanya basah. Istrinya bangkit. Berjalan mendekati si Bungsu. Pada wajahnya kelihatan penyesalan. Dia teringat betapa tadi dia menampar anak muda ini. Dia menyangka anak muda ini temannya Datuk jahanam itu. Itulah sebabnya dia menampar si Bungsu begitu dirinya didorong kepangkuan anak muda ini.
“Maafkan saya bang…saya telah salah sangka tadi…” katanya perlahan. Si Bungsu menatapnya. Kemudian tersenyum.
“Tidak apa. Saya lihat engkau mencintai suamimu. Tapi mencintai suami bukan berarti harus menuruti segela kehendaknya. Kalau engkau merasa pekerjaan yang dia lakukan adalah pekerjaan tercela, engkau berkewajiban melarangnya. Seperti tadi ketika dia meminta gelangmu untuk berjudi. Walaupun engkau dia tampar, tapi jangan berikan. Soalnya bukan berapa nilai gelangmu, tapi yang penting adalah akibat judi itu sangat buruk. Paham bukan…?”
Perempuan itu menghapus air matanya. Dan lambat-lambat duduk dihadapan si Bungsu.
“Kalian dari mana?”
“Kami dari Pekan Baru”
“Hmm, merantau ke sana?”
“Ya. Kami merantau sejak lama di Tanjung Pinang. Disana kami bertemu dan kawin…”
“Kini akan kemana?”
“Pulang ke kampung…”
“Dimana, masih jauh?”
“Tidak, kampung kami di Situjuh…”
“Situjuh?” tanya si Bungsu kaget.
“Ya. Situjuh Ladang Laweh…”
“Disana kampung kalian keduanya?”
“Tidak. Disana kampung saya.pung uda Rasid di Kubang…”
“Siapa ayahmu di Situjuh..?”
Perempuan itu menatap padanya.
“Abang pernah kesana?” si Bungsu menunduk. Menarik nafas panjang.
“Tidak hanya sekadar “pernah” upik. Disana lah darah saya tertumpah. Situjuh Ladang Laweh adalah kampung saya pula…” gadis itu terbelalak.
“Abang orang Situjuh Ladang Laweh?”
“Ya. Kita Sekampung…. Siapa nama ayahmu?”
“Datuk Maruhun…..” si Bungsu kaget.
“Ya. Datuk Maruhun. Abang kenal padanya?”
Si Bungsu menatap gadis itu tepat-tepat. Seingatnya tak ada anak Datuk Maruhun seperti perempuan ini. Datuk itu hanya punya dua orang anak. Yang satu lelaki. Kini jadi Gyugun di Padang. Yang satu lagi perempuan, namanya Renobulan.
Dan betapa dia tak kenal pada Datuk Maruhun?
Renobulan anak Datuk itu adalah bekas tunangannya dahulu. Pertunangan mereka putus karena Datuk itu tidak suka calon menantunya seorang pejudi. Dan sejak putus tunangannya itu, dia tidak lagi pernah mengetahui kemana perginya Renobulan. Gadis tercantik dikampungnya itu.
“Maaf, saya rasa anaknya hanya dua orang. Satu lelaki bernama Mukhtar, kedua perempuan bernama Renobulan…”
“Ya. Datuk Maruhun itulah ayah saya…”
“Tapi…”



@



Tikam Samurai - 128