Tikam Samurai - 136

Ya Tuhan, racun, dia berbisik sendiri. Celaka, dirinya bisa celaka. Dan kini panas mulai terasa menjalar. Pandangannya mulai berkunang-kunang. Tapi belum begitu dia rasakan karena dia bergegas saja menuju penginapan. Dan karena bergegas itu racun ternyata bekerja lebih cepat.
Jahanam! Pejuang itu benar-benar jahanam. Mengapa dia tak memperingatkan ketika akan berpisah tadi bahwa pisaunya beracun? Dia angkat cepat-cepat bubuk yang telah dia serakkan lagi di kain itu. Dia berbaring, dan dia coba lekatkan kain berbubuk itu ke lehernya. Namun lagi-lagi usahanya gagal.
Dan waktu itulah pintu biliknya terbuka. Kepalanya sudah mulai pusing. Racun pisau pejuang itu mulai menghilangkan kesadarannya.
Tangannya meraih samurai dimeja. Bersiap terhadap kemungkinan masuknya Belanda.
Dan yang berdiri dipintu memang orang yang berkulit putih. Berhidung mancung dan bermata biru, berambut pirang. Tapi dia bukan Belanda.  Yang berdiri dipintu adalah wanita Amerika itu. Di tangannya terjinjing sebuah ransel kecil, diluar ransel kecil itu ada tanda palang merah. Itulah yang sempat diingat si Bungsu. Setelah itu dia tak sadar diri.
Yang masih diingatnya dalam ketidaksadarannya itu adalah tentang diri Salma. Rasanya, gadis itu datang merawat lukanya.
Rasanya dia mencium bau harum yang biasanya dia cium dari tubuh gadis itu ketika dirawat dulu.
“Diamlah agar saya rawat luka abang…” suara gadis itu berbisik perlahan ditelinganya.
Si Bungsu tak mejawab. Dia rasakan gadis itu membalut luka dilehernya. Gadis itu membersihkan pakaiannya. Matanya menatap loteng. Di loteng, seekor cecak tengah mengintai lelatu yang merayap tak jauh dari mulutnya.
Cecak itu menatap pada belatu itu dengan diam. Lelatu itu nampaknya tak sadar bahwa dirinya diancam bahaya. Si Bungsu ingin berteriak mengusir cecak itu. Atau ingin berteriak memperingatkan lelatu itu.
Tapi dia tak bersuara. Cecak itu makin dekat. Dan si Bungsu yakin, bahwa mulut cecak itu akan menerkam lelatu itu. Makin dekat-makindekat. Nafas si Bungsu memburu. Dia ingin mencegah. Tapi…snap!! Cecak itu berhasil menangkap lelatu itu persih tentang kepalanya!
Cecak itu menutupkan mulutnya. Lelatu yang tubuhnya sudah masuk separoh itu meronta. Menggelinjang berusaha mengeluarkan kepalanya yang tertelan. Kakinya menerjang-nerjang. Tapi cecak itu melulurnya terys. Cecak itu sendiri menggoyang kepalanya melawan gerakan lelatu itu. Dan akhirnya lelatu itu memang tak berdaya untuk keluar dengan selamat dari mulut cecak.
Tubuh si Bungsu sampai berpeluh melihat betapa lelatu itu teraniaya. Beberapa kali dia menggeliat. Dan akhirnya dia tertidur pulas.
Entah berapa lama dia tak sadar diri. Udara yang panas di kota itu membuat dia gelisah dan perlahan membuka mata. Lambat-lambat matanya terbuka. Menatap ke loteng penginapan.
Cecak yang menatap lelatu tadi tak ada lagi di loteng. Dia merasa lehernya yang luka dan agak dingin. Tangan kanannya terangkat meraba leher yang luka itu. Namun tangannya tak pernah sampai kesana. Ada sesuatu yang ganjil yang menghalangi dirinya.
Selimut tebal menutupi tubuhnya. Tapi ada sesuatu disamping. Tangannya meraba, ada orang. Meski dengan kepala agak berdenyut dia menoleh ke kanan. Dengan mengucap istighfar dia berusaha untuk bangkit takkala dilihatnya siapa yang berbaring disinya dibawah satu selimut itu.
Orangnya tak lain dari perempuan Amerika yang cantik itu. Tapi begitu dia berusaha untuk bangkit, perempuan itu terbangun pula dari tidurnya yang letih. Dan sambil miring kekanan menghadap si Bungsu, perempuan itu tersenyum.
“Sudah merasa agak baik?” perempuan itu bertanya dalam bahasa Indonesia yang fasih. Si Bungsu tak segera bisa menemukan jawaban. Dia segera ingin duduk. Tapi kembali maksudnya tertahan. Bukan karena dia keenakan berbaring disisi perempuan cantik bertubuh ranum itu. Tidak.
Yang menyebabkan dia tak bisa bergerak untuk bangkit adalah kesadaran bahwa dibawah selimut yang menutupi tubuhnya, rasanya dia tak memakai apa-apa.
“tetaplah berbaring. Racun pada luka itu amat berbisa. Untung saya cepat tahu dan punya obat pemunahnya”. Perempuan Amerika itu berkata sambil keluar dari bawah selimut. Kemudian melekatkan kembali pakaiannya. Tapi tiba-tiba terdengar suara derap sepatu ditangga menuju ke atas.
Lalu terdengar suara-suara tentara dalam bahasa Belanda diiringi bentakan dan gedoran pada pintu kamar diempat kamar yang ada ditingkat dua penginapan tersebut.
Si Bungsu menyambar samurainya yang terletak di atas meja. Tapi dia masih tetap berbaring. Perempuan Amerika yang tengah berpakaian itu juga tertegun. Lalu cepat-cepat membuka baju kembali. Dan masuk kebawah selimut disebelah si Bungsu. Saat persis ketika pintu yang lupa mereka kunci dibuka oleh seorang tentara Belanda.
Pintu itu terbuka hanya sedetik setelah perempuan itu menutup kepala si Bungsu dengan selimut.
“Tetaplah berbaring diam…” bisik perempuan itu begitu pintu terbuka.



@


Related Posts

Tikam Samurai - 136