Dan dia sendiri pura-pura kaget terpekik kecil sambil menutup dadanya yang telanjang dengan tangan.
“Oh, sory! Sory…!” tentara Belanda tersebut kaget dan buru-buru mundur. Tapi pintu tetap terbuka.
“Maaf, kami sedang mencari seorang lelaki Inlander yang memakai samurai atau sejenis pedang yang amat tajam. Dia telah membunuh tujuh orang tentara Belanda siang tadi di pasar. Apakah nona melihatnya disekitar daerah ini….?” Kapten yang membuka pintu tadi berkata dari luar.
Perempuan Amerika itu tanpa memakai baju berjalan menuju pintu. Kemudian dia tegak dengan menyembunyikan sekerat tubuhnya dibalik pintu dan menjulurkan bahagian leher ke atas dicelah pintu yang terbuka.
“Saya tidak melihat apa-apa. Suami saya sedang demam. Apakah lelaki itu amat berbahaya?” Perempuan itu bicara dalam bahasa Inggris. Kapten itu, dan tiga orang bawahannnya menelan ludah melihat tubuh perempuan Amerika yang montok itu. Yang tersebeng-sebeng dari celah pintu yang terbuka sedikit. Perempuan itu hanya memakai celana Jean panjang tanpa baju.
“Ya. Ya madam, dia berbahaya. Hati-hatilah, kata orang dia sangat cepat dengan pedang samurainya. Seperti setan saja. Nah, maaf, kami harus pergi. Semoga suami madam cepat sembuh…..” Dan dengan memberi salut, Kapten itu itu turun kembali ke bawah. Sementara perempuan itu masih tegak dipintu.
Di bawah, masih terdengar pembicaraan tentara Belanda itu dengan beberapa lelaki. Kemudian terdengar deru modil menjauh.
Dan sepi!
Mereka pasti berusaha menangkapnya. Kalau Belanda sudah mengetahui, bahwa orang yang membunuh serdadunya mempergunakan samurai tentu mereka sudah mendapat informasi pula, bahwa pembunuh itu melarikan diri ke arah pelabuhan.
Dan si Bungsu memang terpaksa berdiam saja dalam kamarnya seperti yang diucapkan perempuan berat bernama Emylia itu. Dia tak habis pikir terhadap perempuan yang satu ini. Kecantikan yang luar biasa, dengan titel Profesor pula, benar-benar mengagumkan.
Dan pikirannya melayang lagi pada Salma yang dia tinggalkan di Bukittinggi. Dia menatap jari manisnya. Cincin itu terpasang disana. Cincin bermata berlian. Sedang mengapa gadis itu? Apakah sudah kawin?
“Hmm, cincin yang bagus…..” si Bungsu kaget mendengar ucapan itu. Dan yang berkata tak lain daripada Emylia. Perempuan ini muncul dengan dua bungkus nasi ditangannya. Dan kehadirannya yang perlahan itu ternyata tak diketahui oleh si Bungsu.
“Jangan kget kalau saya bisa menebak, bahwa cincin itu pastilah tanda mata dari seorang gadis yang cantik. Hanya saya tak tahu, apakah gadis itu di Payakumbuh atau Bukittinggi….” Emylia berkata sambil meletakkan nasi diatas sebuah piring. Kemudian mengambil dua buah gelas. Mengisinya dengan air the dari ceret kecil diatas meja disudut kamar.
“Engkau lebih mirip tukang tenung….” Si Bungsu berkata jengkel tapi mau tak mau dia mengagumi ketepatan terkaan perempuan asing ini. Emylia tertawa renyai.
“Tukang tenung sama dengan tukang sihir bukan? Hmm, saya juga termasuk yang mempercayai ilmu itu. Karena dia bersangkut paut dengan alam bawah sadar kita. Tenung atau sihir bukan semacam pekerjaan ajaib. Dia hanya pekerjaan pemusatan konsentrasi yang menyerang sendi-sendi bawah sadar orang lain. Tapi saya bukan tukang tenung. Tidak pula tukang sihir, saya hanya menduga-duga. Kalau bukan pemberian seorang yang amat berkesan secara mendalam, tentu engkau takkan melihat cincin itu demikian terharunya”.
Si Bungsu jadi merah mukanya karena malu.
“Dan kalau seorang lelaki merenung sebuah cincin, pastilah yang memberinya seorang perempuan. Dan kalau saya boleh menerka lebih lanjut maka gadis yang memberi cincin itu pastilah bernama Salma…”
Sampai disini si Bungsu benar-benar tak dapat menahan rasa kagetnya. Bahkan kagetnya bercampur dengan perasaan ngeri. Perempuan ini benar-benar Jihin pikirnya.
“Jangan menatap saya dengan mata membelalak begitu Bungsu. Kenapa harus heran kalau saya mengetahui nama gadismu itu? Saya tak menenungnya. Saya ketahui nama itu dari mulutmu sendiri. Nah kini mari kita makan dulu….”
Tapi mana bisa si Bungsu makan. Kapan dia mengatakan nama Salma pada perempuan ini. Tak pernah. Bahkan berhadapan muka baru hari ini. Emylia tak mempedulikan sikap si Bungsu yang terlongo seperti anak-anak melihat sirkus.
Dia membuka nasi bungkusnya. Nasi putih dengan sambal lado dan gulai ikan Patin. Sejenis ikan yang amat enak dikawasan sungai Siak. Dan dia mulai menyuap.
“Makanlah. Oh ya, ingin tahu bila engaku mengatakan nama Salma padaku? Nama itu berulang-ulang kau sebut dalam tidurmu.”
Muka si Bungsu benar-benar merah padam. Bicara perempuan ini ceplas-ceplos saja. Tak berpematang dan tak berbandrol mulutnya, mana bisa dia menghadapi wanita demikian.
Dia beranjak dari tempat duduknya. Pergi ke jendela. Mengintai dari balik gordyn ke bawah.
@
I. Tikam Samurai