Tikam Samurai - 138

“Dekat pohon beringin, ada dua orang lelaki pura-pura memancing. Tapi mereka adalah anggota Nevis. Mata-mata Belanda. Mana ada orang memancing didekat akar beringin bukan? Di sana banyak orang mandi. Mereka mata-mata yang konyol….” Emylia bicara sambil tetap menyuap nasinya. Si Bungsu menatap ke arah beringin yang disebutkannya. Dan di bawah pohon itu memang dia lihat kedua pemancing itu.
Sebenarnya bisa saja orang memancing dimanapun. Tapi selain tempat itu ramai oleh orang mandi, hingga mustahil ada ikan yang kesana, sikap kedua orang itu juga membuat si Bungsu hampir ketawa.
Kedua orang itu secara bergantian setiap sebentar menoleh ke pintu penginapan. Sama sekali mereka tak menyadari, bahwa mereka dimata-matai pula dari atas!
Si Bungsu meninggalkan jendela itu. Kembali ke meja makan. Mata Emylia sudah berair, mukanya merah padam. Hidungnya juga berair.
“Pedasy. Pedasy betul…” katanya menghapus air mata. Namun dia melanjutkan juga menghabiskan nasinya. Selera makan si Bungsu timbul melihat cara makan perempuan ini. Apalagi melihat gulai ikan patin yang kini tinggal tulang belulangnya saja. Dia membuka bungkus nasinya yang masih panas. Mencuci tangan. Dan mulai menyuap. Di depannya Emylia menghembus-hembuskan nafasnya tiap sebentar karena kepedasan.
“He Salemo meleleh…nanti masuk mulut..” si Bungsu berkata. Emylia tak mengerti apa yang dikatakan salemo, tapi karena mata si Bungsu menatap pada hidungnya, dia segera bisa menebak bahwa salemo itu pastilah air yang mengalir dari hidungnya. Mau tak mau si Bungsu juga ikut tertawa, sikap perempuan cantik ini terasa lawak dihatinya.
Dalam waktu tak begitu lama, si Bungsu selesai makan. Sementara Emylia menyuap gula pasir untuk menghilangkan pedas yang menyengat mulutnya. Si Bungsu kini berfikir, bagaimana cara sebaiknya agar perempuan ini mau beranjak dari biliknya. Dan Emylia memang membuktikan bahwa dia adalah seorang ahli ilmu jiwa yang tangguh. Dengan senyum tetap dibibirnya perempuan Amerika yang cantik ini lalu berkata:
“Sebelum anda usir saya keluar, lebih baik saya permisi dulu bukan? Tapi ingat setiap saat tentara Belanda akan datang kemari. Jika itu terjadi jangan malu-malu untuk meminta bantuan. Betapapun di dunia ini kita tak bisa hidup sendiri. Kita saling membutuhkan bantuan orang lain. Itu namanya hidup bermasyarakat. Nah, istirahatlah….”
Berkata begini perempuan itu mengambil bungkus nasi yang telah kosong itu. Kemudian keluar dari kamar, si Bungsu menarik nafas lega. Lalu mempelajari kamar itu baik-baik. Kalau sergapan Belanda datang dia harus bisa menyelamatkan diri sendiri. Tak menggantungkannya pada perempuan asing itu.
Dia meneliti jendela. Kalau dia keluar dari jendela ini maka dia akan tiba di jalan didepan penginapan. Dari sana rasanya tak mungkin menyelamatkan diri.
Belanda tentu meninggalkan pengawal di depan penginapan untuk menjaga setiap kemungkinan. Dia kemudian menoleh ke loteng. Tak ada bahagian yang bisa dibuka. Loteng penginapan itu terbuat dari papan yang dipakukan memanjang.
Maka tak ada jalan lain. Kalau datang lagi tentara Belanda menyergapnya jalan satu-satunya hanyalah melawan sampai mati. Tapi kemungkinan lain tetap ada. Yaitu pindah dari penginapan ini. Dengan adanya dua orang mata-mata Belanda di luar sana, yang pura-pura memancing itu, berarti Belanda telah menduga bahwa dia menginap disini. Kini bagaimana keluar dari sini tanpa tak diketahui kedua orang mata-mata jahanam itu?
Dia raba lehernya. Berbalut dengan perban. Si Bungsu akhirnya memutuskan untuk istirahat sebentar. Dia harus mengumpulkan kekuatan dulu, Dia sudah bertekad untuk keluar dari penginapan ini. Dengan kesimpulan begitu dia lalu kembali membaringkan diri di atas tempat tidur dan meletakkan samurainya disampingnya. Dan matanya mulai memberat. Dia mendengar suara kaki melangkah dijenjang penginapan. Ada orang naik ke atas. Suara langkah itu sangat perlahan, tapi bagi telinganya yang sangat terlatih, suara itu amat jelas. Dia lihat pintunya didorong perlahan. Dia memegang samurai. Pintunya terbuka sedikit. Dia pura-pura tidur. Tapi bukan pura-pura, matanya memang sangat berat. Dia berusaha bangkit, tak bisa!
Kenapa tidak bisa? Dia buka matanya. Terbuka sedikit. Tapi tubuhnya terasa letih sekali. Di pintu sebuah kepala muncul. Dan dia segera mengenali wajah itu. Wajah salah seorang dari mata-mata yang tadi memancing di bawah sana.
Lelaki itu menatapnya. Kemudian masuk ke bilik. Ditangannya sebuah pisau. Si Bungsu berusaha mencabut samurai tapi tak bisa. Benar-benar tak bisa! Lelaki itu mengangkat pisaunya. Dan si Bungsu merasa betapa tangan kirinya disayat oleh pisau itu. Darah mengucur keluar.
Tapi lelaki itu tak meneruskan niatnya. Dia kemudian keluar dari kamar itu. Si Bungsu diantara rasa rasa kantuk dan lelahnya amat sangat, hanya bisa menatap. Kenapa mata-mata Belanda itu tak mau membunuh?
Tapi dia segera ingat sesuatu, Racun! Bukankah dia telah terluka dilehernya dengan pisau beracun. Dan meski dia tak ditikam langsung di jantungnya dia juga akan segera mati karena racun itu. Jahanam, benar-benar jahanam.



@


Related Posts

Tikam Samurai - 138