Atau barangkali dia memang tak dibunuh dengan sesuatu kesengajaan. Yaitu agar dia tetap hidup sampai Belanda datang menangkapnya? Racun itu hanya sekadar untuk melumpuhkannya saja. Dia melihat tangan kirinya yang luka. Darah mengalir membasahi alas kasur. Rasa lelahnya dia tekan. Kantuknya lenyap melihat luka dan karena berang dihatinya.
Dia bangkit. Meski dengan perasaan tak stabil dia berjalan ke pintu. Dan saat itu dia lihat lelaki tadi memasuki kamar Emylia.
Perempuan itu tengah berbaring tak berbaju ketika kedua lelaki yang pura-pura memancing itu masuk. Perempuan itu kaget.
“Mau apa kalian masuk…..?” bentaknya sambilbangkit tanpa mempedulikan dadanya yang telanjang. Namun kedua lelaki pribumi itu menatapnya dengan jijik.
“Mata-mata jahanam!” kedua lelaki itu mendesis. Dan sebelum Emylia sempat berbuat apa-apa yang seorang menghujamkan pisau ditangannya ke dada perempuan tersebut.
Perempuan itu tersentak. Terhenyak ke kasus. Lelaki itu mencabut pisaunya. Darah menyembur. Dan kedua lelaki itu cepat mengindar ketika diluar sana terdengar suara deru mobil berhenti di depan hotel. Ketika mereka keluar dari bilik, mereka berpapasan dengan si Bungsu. Si Bungsu masih sempat melihat Emylia terbaring dengan darah membasahi dada.
“Jahanam. Mata-mata jahanam!” si Bungsu berteriak sambil mencabut samurainya. Tapi kedua lelaki itu telah jauh di gang penginapan tersebut. Di bawah suara derap sepatu terdengar memasuki penginapan.
“Ikut kami kalau kau mau selamat!” salah seorang diantara lelaki itu berkata pada si bungsu. Anak muda itu mendengar suara derap sepatu di bawah jadi sadar bahwa Belanda datang untuk menangkapnya. Sesaat dia menoleh pada Emylia. Perempuan itu juga kebetulan tengah menatap padanya. Dia tak sampai hati membiarkan begitu saja perempuan yang telah membantunya itu.
Dan melangkah masuk. Membungkuk dekat tubuh Emylia.
“Larilah… Bungsu…. Belanda datang untuk menangkapmu. Aku…. Aku menyukaimu…Bungsu!” dan matanya terpejam. Dan dia mati…!
“Jahanam! Kubunuh mereka!” si Bungsu memaki. Dan dia mendengar suara langkah sepatu mulai menaiki jenjang menuju ke tingkat atas dimana dia berada. Dengan cepat dia lari keluar. Di ujung gang, mata-mata tadi masih tegak, nampaknya dia menghalangi jalan si Bungsu untuk keluar.
Si Bungsu bergegas menoleh ke jendela depan. Di bawah ada selusin Belanda siap menanti dengan bedil terhunus. Akhirnya dia berlari ke arah mata-mata itu. Betapapun jua, mata-mata itu lebih mudah membunuhnya. Dan dengan membunuh mata-mata Belanda keparat itu dia bisa meloloskan diri lewat gang kecil ke belakang!.
Ketika lewat didekat tangga bawah, seorang serdadu Belanda telah muncul kepalanya. Tangga naik itu hanya untuk ukuran seorang. Sambil berlari si Bungsu menghunus samurai, dan membacokkannya ke leher serdadu itu.
Tengkuk serdadu itu hampir putus. Dan tubuhnya melosoh turun. Menimpa dan membawa jatuh empat teman-temanya yang berada dihadapannya.
Setelah itu si Bungsu meneruskan larinya ke arah mata-mata itu.
“Ikut kami…!” mata-mata itu berkata sambil bergegas turun lewat pintu kecil itu. Si Bungsu memang tak mempunyai pilihan lain. Jalan kecil ini memang satu-satunya jalan untuk keluar. Dia menuruni anak tangga dan tiba disebuah gang kecil yang terletak di belakang beberapa buah bangunan.
Kedua mata-mata tadi lari menyelinap-nyelinap. Dan si Bungsu memburunya terus. Tapi dia merasa heran juga. Kenapa kedua mata-mata Belanda ini justru menjauh dari para Belanda yang mengepung penginapan itu?
Beberapa kali lagi mereka membelok diantara gang. Masuk ke kebun, lari terus. Masuk ke bawah kolong rumah. Lari terus. Masuk lagi. Nerbelok lagi. Dan tiba-tiba kedua mata-mata itu lenyap. Si Bungsu tertegak kehilangan arah.
Azan magrib terdengar sayup-sayup. Dia melangkah ke depan. Dan tiba-tiba dia dengar seseorang memanggil perlahan. Dia menoleh. Mata-mata tadi! Mata-mata itu memberi isyarat untuk masuk ke sebuah rumah. Si Bungsu ragu sejenak.
Tapi ada sesuatu yang mendorongnya untuk ikut. Dia melangkah memasuki sebuah rumah tua. Di dalamnya tak ada apa-apa. Di ujung sana mata-mata tadi kelihatan menuju keluar. Dia mengikuti terus. Ada beberapa buah gang lagi.
Dan tiba-tiba saja berada dalam sebuah rungan yang diterangi oleh lampu-lampu lilin yang antik. Dan didalam ruangan itu ada sekitar sembilan lelaki.
Mereka semua tegak begitu si Bungsu masuk. Dan si Bungsu segera saja mengenali lelaki yang tegak paling depan.
Dia adalah pejuang yang melukai lehernya di pasar Tengah siang tadi! Lelaki itu menyongsongnya. Mengulurkan tangan dan mereka bersalaman.
“Selamat datang di kota kami Bungsu. Maafkan kekhilafan saya siang tadi. Hmm, lukanya sudah diperban…” lelaki itu berkata dengan hangat.
@
I. Tikam Samurai