Tikam Samurai - 142

Mereka hanya berkekuatan tujuh orang. Personil memang dibatasi demi gerak cepat. Sementara Belanda yang menjaga dimarkas itu jumlahnya sepuluh orang.
Bulan kelihatan terang. Inilah yang menyulitkan mereka.
Seorang tentara kelihatan memetik gitar sambil bernyanyi-nyanyi kecil. Di Depan markas itu terdapat jalan raya menuju Bangkinang. Kemudian sebuah parit. Dan diseberangnya hutan lalang setinggi tegak.
Disebelah kiri markas ada kebun ubi. Di sebelah kanannya rawa-rawa dan sungai kecil. Kamar tahanan berada di Gedung dimana piket sedang duduk. Bukan kamar tahanan khusus. Hanya sebuah kantor yang dipakai sebagai tahanan sementara.
Si Bungsu bersama kapten Nurdin yang memimpin peyerangan itu berada di kebun ubi yang disebelah kanan markas.
“Psst. Lihat yang tengah menunjuk keluar itu…” kapten Nurdin berbisik pada si Bungsu. Anak muda itu mempertajam penglihatannya. Dia melihat seorang tentara KL sedang menunjuk ke jalan raya. Seorang Belanda bertubuh tinggi perpakaian loreng.
“Kau lihat?” Kapten Nurdin berbisik lagi.
“Ya, ada apa?”
“Tak kau kenali dia?” si Bungsu mencoba memperhatikan tentara Belanda yang jarak antara kebun ubi dengan markas itu ada kira-kira lima puluh meter. Dia coba mengingat-ingat. Namun tak bisa dia ketahui siapa tentara itu.
“Dia sahabatmu….” Kapten Nurdin berbisik lagi.
“Sahabatku?”
“Ya. Kalian pernah satu penginapan….” Si Bungsu mengerutkan kening. Tiba-tiba dia mengucap istigfhar.
“Ya Tuhan, bukankah dia lelaki Amerika yang isterinya kalian bunuh itu?” si Bungsu bertanya dengan kaget.
“Persis. Ternyata dia bukan ahli sejarah seperti yang diduga orang bukan? Ternyata dia seorang Leutenant Belanda!”
“Benar-benar jahanam…” desis si Bungsu.
“Lalu kemana kamera yang selalu dia pergunakan untuk memotret-motret orang-orang bersalung itu?”
“Itu hanya pura-pura saja. Kamera itu sebenarnya dia pergunakan untuk memotert pertahanan dan kubu-kubu kita…” Kapten Nurdin terhenti bicara. Sebab dari arah jalan sana kedengaran orang berjualan kacang goreng mendekati markas.
“Itu kopral Aman…” bisik Kapten itu. Kopral Aman itu dia suruh menyamar sebagai tukang jual kacang goreng yang diletakkan dalam goni dan dijunjung di kepala.
“Bagaimana kalau mereka tak membeli kacangnya?”
“Mata-mata kita sudah menyelidiki. Tentara Belanda di markas ini sangat suka akan kacang goreng. Setiap malam pasti dia membeli kacang goreng yang lewat. Dan siang tadi penjual kacang goreng yang asli telah disilakan sakit malam ini. Dan kopral itu penggantinya. Hai, dengar, mereka sudah memanggilnya masuk…”
Penjual kacang itu memang tengah memasuki halaman markas.
“Di dalam karung kacangnya ada granat…’ Kapten itu berbisik. Si Bungsu memperhatikan situasi markas itu. Di depannya ada tiga buah jeep. Suara gitar dan nyanyian terntara Belanda itu masih terus mengalun. Meski bahasanya tak dimengerti namun suaranya cukup merdu.
“Kenapa lambat ledakannya?” Kapten Nurdin bertanya dengan tegang. Ya, seharusnya begitu Kopral Aman masuk ke markas itu, kopral yang berada di dekat rawa dikiri markas harus meledakkan granat kebelakang markas. Huru-hara dan kekagetan yang ditimbulkan itulah yang akan mereka pergunakan untuk menyerbu masuk.
Beberapa detik berlalu. Taka ada ledakan. Kopral Aman sudah menerima uang pembelian kacangnya. Dan sekarang dia harus pergi dari halaman markas itu. Tak mungkin dia berhenti disana terus menerus.
“Jahanam si Imran! Kenapa granatnya tak meledak? Ada berapa granat yang dia bawa?” dia bertanya pada sersan di sampingnya.
“Ada tiga pak…” sersan itu menjawab dengan kecut.
“Gagal! Jahanam! Gagal kita!” Kapten itu mendesis melihat Kpral Aman sudah mengangkat goni kacangnya gorengnya ke kepala.
“Kacang goreeenggg” suaranya terdengar sayu sambil melangkah menjauhi serdadu-serdadu itu. Ledakkan yang dinanti untuk menimbulkan kekagetan dan mengalihkan perhatian itu tak juga ada. Tiba-tiba penjual kacang itu berhenti tiga depa dari para serdadu yang membeli kacang tadi. Dia meletakkan goninya di tanah.
Kemudian berjalan kembali mendekati para serdadu itu.
“Maaf, kacang goreng saya tertinggal…” katanya agak keras. Dua orang serdadu tertawa sambil memberikan tekong kaleng susu kepunyaan tukang kacang itu. Kapten Nurdin dan si Bungsu menyadari bahwa adegan ini terpaksa dilakukan si Kopral untuk menambah waktu lagi bagi Kopral Imran yang granatnya tetap saja tak meletus.
Kopral Aman, membungkuk lagi, memasukkan tekong kacangnya ke goni. Granat Imran tetap tak terdengar. Sementara teman-temannya dikebun ubi, dipadang lalang yang di depan markas diseberang jalan menanti dengan tegang.
Dan saat itulah tiba-tiba Kopral Aman yang membungkuk memasukkan kaleng tekong kacangnya berdiri lagi dan berbalik.



@


Related Posts

Tikam Samurai - 142