Kawabata, lelaki jahanam anggota Jakuza itu ternyata memang tak pernah melupakan Hannako. Gadis cantik itu sangat merangsang birahinya. Dan sejak gadis itu melarikan diri dari rumahnya, dia telah menyebar beberapa anak buahnya untuk mencari jejak gadis tersebut.
Dan bagi Jakuza tak sulit mencari jejak seseorang diseluruh Jepang. Negeri ini berada dalam cengkraman mereka. Mereka mempunyai jaringan di seluruh kota dan desa. Organisasi mereka benar-benar hebat. Mengalahkan prganisasi Kepolisian Jepang.
Itulah sebabnya dalam waktu yang tak begitu lama jejak Hannako segera diketahui. Mereka mengetahui bahwa Hannako tinggal bersama abangnya. Bekas awak kapal Ichi Maru. Tinggal di sebuah rumah di jalan Uchibori. Dan mereka lalu mematai-matai rumah itu.
Siang itu si Bungsu sedang duduk di beranda depan ketika dari seberang sana dia dengar suara-suara bentakan. Berkali-kali dan berulang-ulang.
Suara itu sudah beberapa hari ini dia dengar dan berasal dari sebuah gedung besar. Dia melihat banyak orang berdatangan. Umumnya anak-anak muda. Tapi selain anak muda juga orang-orang tua.
“Hanako-san, asoko ni nani ga arimasu ka” (dik Hanako, disana ada apa?) tanyanya pada Hannako sambil menunjuk ke rumah besar di seberang sana. Hannako menoleh ke arah yang ditunjuk si Bungsu. Ke gedung besar jauh di seberang sana.
“Itu gedung Budokan…”
“Budokan?”
“Ya”
“Tempat apa itu?”
“Disana tempat orang-orang berlatih Judo. Bang Kenji dahulu juga berlatih Judo disana”
“dia belajar Judo disana?”
“Ya. Dia malah sudah menjadi Sensei dengan tingkat Dan III sebelum berangkat jadi pelaut”
“Apa itu tingkat Dan III?”
“Pemegang. Dan adalah Pemegang Sabuk Hitam. Dimulai dari Dan I setelah naik dari sabuk coklat”
Si Bungsu manggut-manggut.
“Abang juga seorang Karateka tingkat Dan II, pergilah kesana, abang sedang latihan disana” Hannako berkata.
“Dia disana?”
“Ya, begitu katanya tadi”
Si Bungsu jadi tertarik. Dia sudah melihat betapa para serdadu Jepang di Minangkabau dahulu berkelahi dengan tangguh dengan mengandalkan Karate atau Judo. Dia sangat mengaguminya. Karenanya dia ingin melihat tempat latihan itu.
Dia pernah dengar nama Budokan. Yaitu pusat latihan Judo dan Karate di Tpkyo. Kiranya inilah gedungnya.
“Akan ke sana?” Hanako bertanya.
Si Bungsu mengangguk.
“Akan saya suruh Naruito mengantarkan. Oto-san antarkan Bungsu-san ke Budokan…”
Naruito muncul. Tersenyum pada si Bungsu. Si Bungsu membalas senyum adik Kenji yang paling kecil ini.
Kemudian mereka berangkat. Melangkah dihalaman rumah mereka yang terbuat dari batu bulat-bulat tipis.
Kemudian menusuri jalan Uchibori. Lalu berbelok ke kanan. Melalui jalan selebar dua meter menuju ke gedung Budokan itu. Jalan yang terbuat dari semen.
“Budokan ini semacam gedung serba guna….” Naruito bercerita, ”disini sering diadakan pertandingan Judo, Karate atau pementasan besar lainnya. Ruang latihan Karate ada disamping kanan. Ruang latihan Judo disudut kiri. Nah, kita akan ke ruang utama…”
“Kenapa harus ke sana. Bukankah kita melihat Kenji?’
“Ya, Kenji-san pasti ada di ruang utama. Kini ada ujian kenaikan tingkat bagi pemegang Sabuk Hitam…”
Si Bungsu jadi sangat tertarik. Mereka memasuki gedung itu dari arah Selatan. Yaitu dari pintu utamanya.
Dan disaat mereka masuk, disaat itu pula nama Kenji dipanggil. Di ruang tengah kelihatan ada sekitar enam puluh Karateka pemegang Sabuk Hitam. Duduk berjejer dengan diam.
Di seberang mereka kelihatan benda-benda tersusun.
“Abang akan ujian memecah benda-benda keras…” Naruito bicara perlahan. Kenji nampak tegak di tengah. Membungkuk ke arah Utara, dimana disana ada seorang lelaki gemuk duduk di lantai Tatami dengan bendera Jepang besar dilatar belakangnya.
Terdengar aba-aba. Dan Kenji menuju ke susunan batu genteng setinggi pinggang.
Bungsu menatap dengan tegang. Kenji melakukan konsentrasi. Dan memukul genteng itu perlahan sekali. Lalu mengangkat tangannya. Ada tiga kali hal itu dia lakukan, seperti memukul tapi hanya meletakkan tangannya saja.
Kemudian dia mengangkat tangannya kembali kesisi pinggang. Dan seiring dengan teriakan yang mengguntur pukulannya meluncur keras ke bawah. Terdengar suara berderam. Dan genteng setinggi pinggang itu ambruk semua!
@
Tikam Samurai - II