“Tenanglah Salma. Tenanglah, overste pasti selamat. Tenanglah…” nyonya konsul membujuk. Salma menangis memeluk perempuan separoh baya yang telah dia anggap sebagai ibunya itu.
“Apa yang terjadi bu? Apa yang terjadi dengan suami saya…”
“Barangkali ada kekeliruan. Dia kena tembak di pelabuhan…” suara konsul menjelaskan. Salma menatap pada pejabat tinggi Republik Indonesia itu.
“Di pelabuhan…?”
“Ya. Dia bersama saudara Bungsu…”
Dan Salma baru ingat akan anak muda itu. Dia menoleh pada arah yang juga ditoleh oleh konsul tersebut. Disana ditentang bahu Nurdin, dalam jarak dua depa, tegak anak muda itu dengan diam. Ketika tadi Salma masuk, dia ingin menemuinya. Tapi anak muda ini segera tahu diri. Tempat ini adalah tempa para pejabat. Bukan tempatnya. Dan dia merasa kurang pantas kalau harus dia menemui Salma. Apa benar jabatannya hingga berani mendekati isteri seorang atase militer dari sebuah Negara?
Ah, dia merasa tak pantas. Dan karenanya dia mengundurkan diri diam-diam. Lalu tegak di balik tali yang dibuat secara darurat untuk membatasi dokter-dokter yang tengah mengoperasi itu dengan para pejabat konsulat yang hadir disana.
Barulah ketika namanya terdengar disebut dia menolehkan kepala. Salma tengah menatap padanya. Dia mengangguk pada isteri atase militer itu. Dalam cahaya listrik, Salma melihat bercak darah memenuhi kemeja dan kaki celana si Bungsu. dan dapat dia duga, suaminya pastilah rebah ke tubuh anak muda itu tadi. Dan ingatannya hanya sampai disana. Tubuhnya doyong. Dan perempuan muda itu lalu rubuh tak sadar diri. Dia sangat mencintai suaminya. Mencintai ayah dari anaknya. Dan malapetaka ini adalah cobaan pertama selama perkawinan mereka yang selalu berbunga bahagia. Dan setiap goncangan yang pertama meskipun tak begitu kuat, akan terasa melumpuhkan. Apakah goncangan kuat seperti yang dialaminya saat ini!
Salma lalu digotong ke kamar yang ada di kantor itu. Dan operasi terhadap Nurdin berlanjutr terus.
Menjelang tengah malam, sudah ada delapan dokter berkumpul disana. Dan Nurdin masih tetap tak sadar diri.
Lewat tengah malam. Dari dua peluru yang bersarang dekat jantung Nurdin, belum satupun yang bisa dikeluarkan. Mereka baru sampai pada taraf pengehntian pendarahan secara total.
Mereka memerlukan beberapa kali konsultasi untuk mencabut kedua peluru itu dari sela jantung Nurdin. Sebab letaknya amat berbahaya. Sedikit saja bergeser atau mengenai tempat lain, maka akibatnya fatal.
Mungkin tidak mematikan. Tapi bisa melumpuhkan overste itu secara total seumur hidupnya. Tabung zat asam dan infus darah dilakukan terus menerus.
Menjelang pagi, barulah kedua peluru itu bisa diangkat dan dibuang. Namun pekerjaan berbahaya masih belum selesai. Penjahitan kembali dua liang tempat peluru itu terbenam memerlukan kehati-hatian yang tak kalah dari saat mengangkat perluru itu tadi.
Seluruh operasi yang menegangkan untuk menyelamatkan nyawa atase militer dari Indonesia itu baru selesai takkala siang telah datang.
“Dia selamat. Tapi diperlukan waktu yang amat lama baginya untuk istrirahat…” dokter konsulat yang memimpin operasi itu berkata sambil membuka tutup mulut dan sarung tangan karetnya.
Salma yang sudah sejak tadi sadar diri, menangis tersedu-sedu. Dan dia tercenung ketika didengarnya orang sembahyang dari kamar sbelah. Dari bacaan ayatnya dia segera mengenal bahwa yang sembahyang adalah si Bungsu.
Salma dan keluarga konsul Republik Indonesia itu sama-sama tercenung. Mereka semua orang Islam. Tapi karena alasan kesibukan tugas negara, mereka amat jarang sholat. Bahkan boleh dikata mereka tak pernah melakukannya. Demikian juga Salma. Padahal dahulu dia adalah gadis yang soleh. Bekas pelajar Diniyah Puteri Padang Panjang.
Dan tanpa dapat ditahan, air mata perempuan muda itu merembes turun. Konsul sendiri bergegas ke kamar mandi. Mengambil udhuk. Kemudian ikut sembahyang. Ah, meskipun dia seorang pejabat tinggi, namun dia tak malu untuk belajar dari yang lebih muda.
Kenapa harus malu memulai sholat, pikirnya. Dan dia sholat dibelakang si Bungsu tegak. Untuk keamanan, Nurdin tetap tak dirawat di hospital ataupun di rumahnya.
Konsul menyuruh agar dia dirawat di konsulat itu saja. Kantor Konsulat itu cukup besar. Konsul Jenderal itu sendiri dahulu tinggal di gedung Konsulat tersebut bersama anak isterinya.
Kini kamar itu ditempati oleh Salma dan suaminya yang sakit.
Dokter datang tiga kali sehari mencek keadaannya.
@
Tikam Samurai - III