“Michiko-san…” seorang pendeta tua wakil Saburo mengingatkan Michiko atas sikapnya itu. Namun Michiko sudah melangkah menuruni anak tangga. Menuju lurus-lurus ke arah si Bungsu.
“Michiko-san…!” wakil Obosan itu kembali menegur Michiko yang meninggalkan altar upacara.
Namun Michiko sudah sampai di bawah. Melihat gadis itu datang padanya, si Bungsu maju menyeruak di antara barisan pendeta. Dan kini berdiri di depan.
Semua mata menatap kedua anak muda ini. Selain para pendeta dari kuil Shimogamo, tak seorangpun yang mengenal anak muda asing itu.
“Saya menyampaikan rasa duka cita yang…” ucapan si Bungsu sambil membungkuk dalam itu terhenti takkala tiba-tiba tangan Michiko secepat kilat menyambar samurai dari seorang pendeta yang tegak di dekatnya.
Dan samurai itu dengan kecepatan yang sulit diikuti mata pula, menghajar bahu si Bungsu!
Darah menyembur dari bekas luka yang menganga itu!
“Michiko-san!!!” wakil Saburo di kuil Shimogamo itu membentak seiring dengan teriakan-teriakan kaget dari seluruh pengunjung melihat kejadian itu.
Si Bungsu bukannya tak tahu bahwa ada bunyi senjata menyerangnya. Kalau dia mau, dia bisa mengelak. Bahkan dia bisa mematahkan serangan itu.
Namun dia sengaja tak melakukannya! Bukankah hal yang sama juga dia lakukan dahulu ketika ayahnya mati ditangan Saburo? Bukankah waktu itu dia ingin berlari memeluk ayah dan ibunya tapi kemudian Saburo membabatnya dengan samurai?
Dan itulah penyebab kenapa dia bertahun-tahun mencari Saburo sampai kemari. Kini, kalau dia patahkan pula serangan Michiko. Gadis itu tentu akan mencarinya untuk membalas dendamnya!
Dia tak ingin hal itu terjadi. Dia ingin hal ini selesai disini. Makanya dia membiarkan dirinya dilukai.
“Lelaki jahanam! Cabut samuraimu! Aku Michiko Matsuyama akan membalas dendam kematian ayahku! Apakah engkau sangka engkau saja yang berhak membalas kematian ayah dan ibumu?”
Suara Michiko terdengar lantang dan bergetar. Dan hanya dalam waktu beberapa detik setelah ucapannya itu, semua orang yang hadir segera mengetahui, bahwa anak muda itulah rupanya yang telah mengalahkan Obosan kuil Shimogamo ini dan beberapa murid utamanya!
Semua mereka kini memperhatikan dengan seksama.
“Indonesia-Jin…. Indonesia-Jin….” (Orang Indonesia…orang Indonesia!) terdengar suara berbisik-bisik.
Para pendeta kuil Shimogamo itu berlarian mengelilingi Michiko dan si Bungsu.
Wakil Saburo di kuil itu, seorang pendeta tua gemuk dan berwibawa segera membungkuk hormat dan berkata perlahan:
“Mohon Michiko-san jangan menuruti hati marah. Obosan meninggal dengan terhormat. Dia mati dengan Harakiri. Bukan dibunuh oleh anak muda ini. Lagipula bukankah kemaren sebelum dia meninggal Obosan berpesan bahwa dia tak ingin ada dendam yang berlanjut antara kita dengan Bungsu-san…? Bukankah Obosan sudah menerima salah atas perbuatannya terhadap keluarga Bungsu-san? Mohon Michiko-san menyabarkan hati….”
Namun Michiko nampaknya sangat terpukul atas kematian ayahnya. Itu terbukti ketika dia berkata dengan lantang:
“Dengan pihak kuil Shimogamo boleh tak ada urusan. Tapi dengan diriku, huh, kenapa harus kalian larang? Apakah ada aturan yang melarang seorang anak menuntut balas kematian ayahnya?”
Pendeta itu tersurut mendengar ucapan yang kurang pantas ini. Si Bungsu masih tegak. Tangannya tergantung lemas. Bahu kirinya berlumur darah.
Namun dia tetap tegak dengan tenang. Dan dengan tenang pula dia menghadap pendeta-pendeta kuil Shimogamo, lalu berkata:
“Saya minta maaf atas kejadian kemaren. Dan saya ikut berduka atas kematian Obosan Saburo…” dia membungkuk dalam. Dua belas pendeta yang tegak mengitarinya membalas penghormatannya dengan membungkuk pula dalam-dalam.
“Terimakasih atas kunjunganmu kemari Bungsu-san. Kami menghargai sikap satria. Dan kami memuliakan kejujuran…” wakil obosan itu menjawab.
Ucapan mereka diputus oleh Michiko:
“Nah, kita lanjutkan persoalan antara kita yang belum selesai. Cabutlah samuraimu. Jangan kau kira engkau saja yang mampu mempergunakannya!”
Suara Michiko terdengar nyaring, getir dan bernada luka. Si Bungsu menatapnya. Dan dia dapat merasakan betapa hancurnya hati gadis itu.
Bukankah dia juga pernah manruh dendam yang sama seperti yang dialami gadis ini? Dendam dan kebencian yang berkobar, yang menjalani segenap pembuluh darah dan segenap tulang belulang terhadap orang yang membunuh ayah, ibu dan kakaknya?
Dan itulah kini yang dialami Michiko.
@
Tikam Samurai - II