Sepuluh hari lamanya dia terbaring dalam musim dingin itu. Terbaring dihotelnya sambil mengobati luka bekas hantaman samurai Michiko.
Namun hari ke sepuluh nampaknya dia harus meninggalkan hotel itu. Sore harinya dia tengah duduk selesai minum sake ketika di luar dia dengar suara bertengkar.
Salah satu suar itu dikenalnya baik sebagai suara seorang pelayan hotel tersebut.
Kemudian didengarnya suara tamparan. Dan pintu kamarnya dibuka tanpa diketuk terlebih dahulu. Dia menatap empat lelaki tegak dipintu kamarnya. Keempatnya memakai senjata.
Dua orang menggantungkan samurai di pinggangnya. Seorang memakai rantai sebsar ibu jari kaki yang digantungkan ke lehernya. Seorang lagi memaki trisula. Sejenis senjata seperti tombak yang mempunyai tiga cabang.
“Kami dari Kumagaigumi!” yang memegang tombak trisula itu berkata dengan suara serak. Dan ucapannya diiringi dengan hayunan tombak trisulanya ke arah si Bungsu!
Si Bungsu sudah merasa sejak dia mendengar pertengkaran di luar tadi. Bahwa orang yang datang ini pastilah berniat tak baik.
Dan ketika lelaki itu menyebut Kumagaigumi, dia segera ingat pada organisasi bandit yang anggotanya pernah dia sudahi di depan stasiun kota Gamagori.
Yaitu ketika dia menyelamatkan Michiko dari gangguan dua orang anggota komplotan itu. Kemudian ternyata yang dua orang ini memanggil tiga temannya lagi. Salah seorang diantaranya ternyata adalah pimpinan Kumagaigumi di kota itu.
Dan kini kelompok itu datang membalas dendam. Si Bungsu sudah waspada disaat orang itu menghayunkan tangannya menghujamkan tongkat trisula.
Anak muda ini menggulingkan tubuh ke belakang. Dan tombak itu menghujam di kasurnya. Dan tanpa memberi waktu sedikitpun, ketiga lelaki lainnya segera mengepungnya dan mengahntamnya dengan senjata di tangan mereka.
“Tahan….!” Si Bungsu berseru.
Anak muda ini sudah merasa jenuh dengan perkelahian. Dia sudah merasa seperti tukang bantai. Karena itu, dia tak ingin berlarut-larut.
Untungnya, keempat lelaki itu mau menahan serangan mereka.
“Kalian datang untuk membalaskan kematian lima teman kalian di stasiun Gamagori?”
Keempat lelaki itu menyeringai. Dan yang menjawab adalah yang memakai tombak trisula itu. Nampaknya dia adalah pimpinan di antara keempat lelaki tersebut.
“Ya. Kami datang untuk menuntut balas kematiannya. Dan kini engkau bersiaplah menerima nasibmu…”
“Tunggu! Untuk apa kita memperpanjang persengketaan ini? Saya tidak ingin mengatakan siapa yang salah dan siapa yang benar dalam peristiwa itu, tapi apakah tak ada jalan lain untuk menyelesaikannya tanpa menumpahkan darah?”
Keempat lelaki itu saling pandang.
Dan malangnya, keempat mereka jadi salah duga terhadap maksud ucapan si Bungsu. anak muda ini benar-benar tak ingin menumpahkan darah lagi. Dia sudah merasa penuh dosa.
Tapi keempat lelaki itu justru menafsirkan bahwa anak muda ini takut kepada mereka berempat. Dan inilah pangkal celaka itu. Kalau saja mereka mau sedikit berfikir agak waras, bahwa anak muda ini datang dari jauh tanpa bekal kecuali samurai dan dendam, mungkin mereka akan dapat mengerti.
Namun sudah dasarnya kaum rampok dan penyamun, yang ada pada mereka adalah keangkuhan. Sikap mengalah orang dia duga sebagai sikap takut.
“He…he…jangan menangis anak muda. Engkau barangkali bisa kami ampuni kalau engkau mau merangkak keliling kamar ini….:
Si Bungsu menatapnya. Keempat lelaki itu menyeringai.
“Ya, kalau kau mau merangkak dan minta ampun pada kami, maka kami akan pertimbangkan untuk tetap membiarkan engkau hidup…”
Si Bungsu masih menatap mereka.
“Kalau kau mau, mulailah….”
Si Bungsu masih menatap dengan diam.
“Kau tak mau? Kami akan menguliti kepalamu dan engkau akan kami cencang…”
“Apakah persoalan memang bisa selesai dengan hanya merangkak dan minta ampun?” suara si Bungsu terdengar perlahan.
Anak muda ini sebenarnya memang bersedia melakukan seperti yang diminta oleh bandit-bandit Kumagaigumi itu. Yaitu kalau persoalan itu memang bisa diselesaikan dengan cara demikian.
Tapi orang Kumagaigumi ini mana mau persoalan hanya sampai disana. Mereka datang memang untuk membalas dendam. Kemudian dengan pernyataan anak muda itu, mereka merasa di atas angin.
Mereka menduga anak muda itu takut. Karena itu, kesombongan mereka menjadi-jadi.
“Ya, merangkaklah. Dan kemudian menyembah minta ampun. Lalu tindakan berikutnya boleh kita pikirkan apakah engkau bisa bebas atau ditambah dengan acara lainnya…” kembali yang memakai tombak trisula itu bicara.
Si Bungsu menyadari, bahwa apapun yang dia lakukan, maka keempat orang ini hanya berniat satu. Yaitu menghendaki nyawanya.
@
Tikam Samurai - II