Tikam Samurai - 232

Dari melihat batang dan jenis daunnya saja seorang peramu obat yang ahli akan segara dapat mengetahui mana pohon yang bisa jadi obat.
“semua akar, daun dan kulit kayu ini direbus dengan batu Giok ini….” Kata Zato Ichi sambil memperlihatkan tiga macam batu-batuan.
Si Bungsu jadi heran melihat batu tersebut. Batu Giok adalah semacam batu mar-mar yang indah dari daratan Tiongkok. Dia sebenarnya hanya mirip mar-mar. tapi batu ini banyak dibuat perhiasan oleh orang.
Ketiga batu Giok itu berwarna lumut, merah darah dan kuning.
“Ketiga macam batu ini akan mengeluarkan getah bila direbus bersamaan dengan akar dan kulit kayu tadi….” Zato Ichi menjelaskan.
Tapi kedua mereka tiba-tiba sama terdiam. Si Bungsu melihat betapa Zato Ichi mendongakkan kepala. Nampaknya dia tengah mendengarkan sesuatu.
“Ada orang datang…..” kata lelaki Jepang itu perlahan.
“Ya. Dan mereka mengitari rumah ini” jawab si Bungsu perlahan.
Kedua lelaki ini adalah lelaki-lelaki yang memiliki indera yang amat tajam.
Mereka dapat mendengarkan langkah beberapa orang di luar sana. Padahal saat itu angin musim dingin tengah bersuit kencang. Namun diantara suitan angin itu, masih saja telinga mereka dapat membedakan bunyi langkah kaki manusia.
“Berapa orang mereka?” tanya Zato Ichi.
“Lebih dari lima orang….” Kata si Bungsu.
Zato Ichi tersenyum. Lagi-lagi dia mengagumi anak muda ini.
“Inderamu sangat hebat Bungsu-san….” Katanya. Si Bungsu hanya diam.
“Mari kita ke luar, kita sambut kedatangan mereka….” Kata Zato Ichi sambil tertatih-tatih melangkah ke luar rumah.
Dengan memegang samurainya di tangan kiri. Si Bungsu mengikuti langkah Zato Ichi. Dan tiba-tiba mereka berdiri di halaman belakang kuil tua itu. Angin dingin yang bertiup pagi itu menampar-nampar wajah mereka.
Dan begitu mereka berdiri di luar, enam lelaki dalam pakaian kimono hitam tegak membuat setengah lingkaran.
“Zato Ichi…!” terdengar bisik-bisik di antara mereka takkala melihat pada lelaki buta itu. Bisik bisik itu berbaur dengan rasa terkejut.
“Hmmm, sudah lama kuil ini sepi. Apakah tuan-tuan datang untuk bersembahyang…?” terdengar suara Zato Ichi bergema mengatasi suitan angin kencang.
Keenam lelaki yang baru datang itu saling pandang. Salah seorang diantaranya, yang berkumis tebal, yaitu yang tertua diantara mereka, maju dua tindak.
Suara terompa kayunya terdengar berdetak di atas semen di halaman belakang kuil itu.
“Kami dari organisasi Kumagaigumi. Kami datang….”
“Hmm, Kumagaigumi, kelompok biruang gunung yang sejak dahulu hanya mengacau….’ Suara Zato Ichi memutus ucapan lelaki itu.
“Itu urusan kami. Kami tak pernah mencampuri urusan Zato Ichi. Harap jangan ikut campur urusan kami…” lelaki itu membentak.
Terdengar suara tawa Zato Ichi perlahan.
“Bagaimana aku takkan ikut campur, kalau urusan kalian itu justru merampok dan memperkosa wanita-wanita Jepang? Apa tak lebih baik kalian memperkosa ibu kalian sendiri?”
Muka lelaki yang baru datang itu jadi merah padam.
“Zamanmu sudah lewat Zato Ichi. Lebih baik hari-hari tuamu ini kau lewatkan dengan berdoa dalam kuil. Menghindarlah dari sana. Kami ada urusan dengan anak muda jahanam itu…”
Zato Ichi terdiam. Mukanya terangkat. Matanya yang buta seperti menatap langit yang gelap. Kemudian menunduk. Dan terdengar suaranya perlahan:
“Ya, saya harusnya berdoa…selesaikanlah urusan kalian…”
Dan sehabis berkata begitu, perlahan mengetuk-ngetuk lantai semen, mencari jalan ke arah kanan rumah. Tak jauh dari sana, ada sebuah bangku-bangku dari semen. Dan dengan tenang Zato Ichi duduk di bangku tersebut.
Kini di depan rumah itu tegak si Bungsu sendiri menghadapi keenam lelaki anggota Kumagaigumi itu.
“Nah, anak muda. Kami datang untuk membawamu pergi. Engkau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu. Membunuh anggota kami di kota Gamagori dan di hotel tiga hari yang lalu..”
“Yang, di hotel itu, saya ikut membunuhnya tiga orang…” suara Zato Ichi memutus.
Pimpinan Kumagaigumi itu menoleh. Tapi jelas dia tak ingin pahlawan Samurai itu ikut campur. Kalau dia campur tangan, jelas keadaan akan gawat. Karena itu dia lalu berkata:
“Urusan dengan engkau akan kami bereskan kemudian. Kami berurusan dengan orang asing ini…”
Zato Ichi tertawa berguman. Jelas bahwa dia mengetahui akal licik anggota Kumagaigumi ini. Namun demikian, dia tetap duduk dengan tenang.
“Nah, kau ikutlah kami…” suara lelaki berkumis tebal itu berdengung. Si Bungsu hanya tersenyum tipis.



@



Tikam Samurai - 232