Runtuh dengan rubuhnya tubuhnya yang besar itu. Tak ada kesombongan dan ketangguhannya yang tersisa. Semua telah tersikat habis. Dia jatuh dalam keadaan lebih nista daripada temannya yang bernama Siswoyo tadi. Tak ada arti silat harimau yang dia panggakkan itu. Tak ada lagi Nuad yang ditakuti. Tak ada Nuad mata-mata kesohor itu. Tak ada!
Yang ada kini hanya seonggok tubuh tak bertenaga dengan mulut berdarah dengan banyak gigi yang rontok. OPR itu pingsan! Ketermanguan si Bungsu setelah menghajar Nuad yang sombong itu dikejutkan oleh tepuk tangan. Dia menoleh. Yang bertepuk tangan adalah tentara-tentara yang tegak diseputar ruangan. Seorang sersan malah maju, menyalami si Bungsu.
”Kau hebat. Hebat… dan sportif. Selamat!”
Ucapnya jujur sambil mengguncang tangan si Bungsu. Beberapa orang tentara maju pula menyalaminya.
Ketiga temannya yang ada dalam sel ternganga ketika dia diantarkan sersan yang siang tadi menangkapnya di rumah Kari Basa.
”Sanak menghajar si kafir itu?” tanya yang berbaju polisi.
”Siapa yang kafir?”
”OPR celaka itu. Dia orang komunis. Dia kafir!”
Jawab si baju polisi penuh semangat dan penuh kebencian. Si Bungsu menatapnya.
”Semua tentara yang menyerang negeri kita ini kafir. Semua komunis” ujar orang itu kembali dengan bersemangat. Si Bungsu menatapnya lagi.
”Dan semua orang yang memberontak di negeri ini adalah Islam?” tanyanya pelan.
”Ya. Kita semua Islam!”
”Termasuk yang merampok dan memperkosa perempuan di desa-desa sana?”
Orang berbaju polisi itu tertegun. Ganti dia menatap si Bungsu.
”Saya tak tahu siapa sanak. Ucapan sanak seperti mata-mata. Apakah sanak juga seorang kafir?”
Tangan si Bungsu melayang. Sebuah tamparan mendarat di pipi lelaki itu. Lelaki itu terjajar. Si Bungsu sudah berniat menghajar PRRI yang seorang ini. Namun tiba-tiba dia merasa kasihan. Kasihan pada kebodohan dan fanatisme irasional orang berbaju polisi itu. Lalu dia berkata perlahan :
”Saya cukup banyak melihat tentara PRRI yang tak pernah sembahyang. Apakah dia juga Islam? Saya cukup banyak mendengar tentara PRRI merampok dan memperkosa perempuan di kampung-kampung. Apakah juga dia orang Islam menurut ukuran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad? Sebaliknya saya cukup banyak melihat tentara APRI yang sembahyang, yang berbuat baik.
Apakah semuanya kafir? Apakah asal dia PRRI adalah Islam dan asal dia APRI adalah kafir?”
Yang ditanya tak menjawab. Dia mengusap pipinya yang tadi kena tampar. Lalu menatap pada temannya yang berpakaian tentara. Lalu menatap pada lelaki yang seorang lagi, yang berpakaian rapi. Dia seperti meminta bantuan untuk menyokong pendiriannya. Untuk memperkuat pendapatnya tadi. Bahwa semua APRI yang menyerang ini adalah tentara kafir. Namun tak seorangpun yang bicara. Justru si Bungsulah yang bicara.
”Harap dibedakan, antara tujuan politik dan agama. Jangan yang satu digunakan untuk menutupi maksud yang lain. Saya tak tahu kenapa saya ditangkap. Tapi yang jelas, saya sudah terlibat demikian jauh dalam urusan yang saya tak tahu ujung pangkalnya. Kalian berperang melawan tentara pusat adalah untuk menuntut pembangunan daerah yang lebih merata. Kenapa tiba-tiba harus dicap pusat adalah kafir?”
Ucapan ini diucapkan si Bungsu perlahan saja. Seperti untuk dirinya sendiri. Karena diserang lelah, dia membaringkan diri di lantai. Dingin lantai itu sesungguhnya, namun dalam keletihan yang sangat, apalah artinya sebuah kedinginan dibanding dengan tubuh yang ingin istirahat. Dia tertidur. Sementara tiga lelaki lainnya dalam tahanan itu masih saling bertukar pandang. Menjelang subuh si Bungsu terbangun. Ada yang menggoyangkan tangannya. Dia membuka mata. Tak seorangpun yang kelihatan dalam kegelapan di kamar tahanan itu. Namun dia yakin, seseorang telah membangunkannya. Lalu terasa lagi, tangan sebelaah kanannya ada yang menggoyang perlahan. Dia menahan nafas. Kemudian kembali terdengar suara bisikkan.
”Sanak…”
Si Bungsu segera tahu, suara itu adalah suara salah seorang teman sekamarnya.
”Sanak…” kembali orang itu berbisik perlahan.
Dari suaranya si Bungsu tahu, orang itu berbaring di sisinya.
”Sanak sudah bangun…?” orang itu menggoyangkan tangannya lagi.
”Ya…” jawab si Bungsu pelan.
”Dengarlah, Sanak. Waktu saya tinggal sedikit…” ujar orang itu dengan suara yang ditekan serendah mungkin. Nampaknya dia khawatir akan didengar oleh orang lain dalam kamar itu.
”Nama saya Sunarto. Saya adalah tahanan yang memakai baju hijau tentara yang sanak lihat siang tadi. Saya dari pasukan Mobrig Batalyon Sadel Bereh. Saya tertangkap ketika saya akan mengambil surat dari seorang kurir di Pintu Kabun. Mereka sudah mengetahui siapa saya. Saya adalah mata-mata.
@
Tikam Samurai - IV