Tikam Samurai - 346

Hukuman bagi orang semacam saya, setelah diperas semua pengakuannya, adalah hukuman tembak. Saya sudah beberapa hari ditahan. Saya rasa, pagi ini saya akan ditembak. Sudah ada gerak begitu di hati saya. Sanak, saya tak tahu siapa Sanak. Tapi hati kecil saya berkata, bahwa Sanak orang yang baik. Sanak orang bersih. Hal itu dapat saya baca sejak pertama Sanak masuk siang tadi. Dan semakin jelas ketika Sanak berbicara soal kafir dan Islam dengan teman saya yang berbaju polisi itu. Saya ingin minta tolong pada Sanak. Saya punya sedikit uang. Saya simpan di suatu tempat. Bukan uang rampasan. Tapi uang gaji saya. Saya tak pernah sempat mengirimkannya untuk keluarga saya….,” orang itu berhenti sebentar.
Udara dingin menusuk lewat lantai batu ke tubuh mereka. Kemudian orang itu menyambung lagi.
”Saya ingin Sanak mengambil uang itu. Saya mohon Sanak memberikannya pada keluarga saya. Pada isteri dan enam orang anak-anak saya. Katakan saja bahwa saya tengah berjuang. Minta mereka untuk pulang ke kampung. Nanti saya menyusul….”
Orang itu berhenti lagi. Nafasnya terdengar memburu karena berbisik terlalu lama. Si Bungsu masih tak tahu apa-apa. Dia tak tahu siapa isteri orang ini. Tak tahu di mana tinggalnya. Dia menanti orang itu untuk menyampaikannya. Orang yang bernama Narto itu mulai menceritakan dimana uang itu dia simpan. Di dalam tanah dekat sebuah pohon di sebuah kampung di pinggir kota Bukittinggi.
”Isteri saya kini berada di Matur. Jauh memang. Tapi saya mohon Sanak menyampaikannya. Suruh mereka pulang…”
”Pulang kemana?” tanya si Bungsu.
”Ke kampung…”
”Ke kampung mana?”
”Ke Semarang, di Jawa…”
”Semarang?”
”Ya..”
”Isteri saudara orang Jawa?”
”Ya. Saya juga. Ayah saya orang Semarang. Ibu saya orang Matur. Dahulu ayah saya datang kemari di zaman penjajah Belanda. Kawin dan punya anak. Isteri saya itu saya kawini ketika kami pulang ke Semarang…”
Ada sesuatu yang terhunjam rasanya di jantung si Bungsu tatkala mendapati kenyataan bahwa mata-mata PRRI ini ayahnya adalah ”orang Jawa” sementara ibunya ”orang Matur”.
”Mereka tahu bapak orang Jawa?”
”Maksud sanak APRI?”
”Ya”
”Mereka tahu semuanya. Darimana saya mereka sudah tahu. Karena itu mereka lalu membujuk agar saya membocorkan rahasia yang saya ketahui. Tapi bagi saya kepatuhan pada atasan adalah sesuatu yang mulia. Begitu umumnya bagi kami orang Jawa. Sungguh mati, saya tak lagi merasa sebagai orang seberang. Saya merasa negeri inilah kampung halaman saya…”,
Lelaki itu berhenti lagi. Namun si Bungsu merasa hatinya diiris. Dan lelaki itu bicara lagi.
”Karena saya merasa negeri ini adalah negeri saya, maka saya tak mau membuka rahasia. Mereka lalu menyiksa saya. Insya Allah, saya masih kuat menutup mulut. Saya yakin, mereka tak mau mengulur waktu. Saya akan mereka bunuh. Tak apa. Saya tak mau teman-teman ditangkapi kalau saya membocorkan rahasia. Nah, Sanak, itulah permohonan saya…”
”Bagaimana kalau uang itu justru saya pakai. Saya bisa saja tak menyampaikannya…” ujar si Bungsu.
”Tadi saya telah katakan. Saya tahu Sanak orang yang baik. Sanak orang bersih. Kalaupun uang itu akhirnya Sanak yang memakai, saya tetap bahagia. Hanya tolong sampaikan pada anak dan istreri saya, bahwa saya masih bertugas. Sanak, ini tanda pengenal saya. Sebuah kalung kecil dengan bundaran timah sebesar ujung kelingking. Ambillah, tolong berikan pada isteri saya….”
Orang itu baru saja menyodorkan benda yang dia maksud ketika tiba-tiba pintu terbuka. Cahaya senter menerobos masuk.
”Tetaplah pura-pura tidur…” bisik lelaki bernama Sunarto itu setelah tanda pengenalnya berpindah ke tangan si Bungsu. Terdengar suara derap sepatu memasuki kamar.
”Ini regu yang akan menjemput saya. Selamat tinggal….sanak…”
Terdengar suara diikuti tendangan kaki bersepatu ke paha Sunarto.
”Hei, Narto. Berdiri! Komandan ingin bertemu denganmu…”
Lelaki itu seperti terkejut. Pura-pura ketakutan.
”Ayo cepat!”
Lelaki itu bangkit. Sesaat, lewat matanya yang tak terpejam, si Bungsu melihat lelaki itu menoleh padanya. Lelaki dari Jawa yang berjuang untuk tanah Minang. Sesaat mata mereka seperti bertatapan di bawah cahaya senter. Kemudian gelap. Yang terdengar kemudian adalah derap sepatu menjauh. Dan lelaki itu memang tak pernah lagi kembali ke tahanannya.



@



Tikam Samurai - 346