Dari para penjaga dia mendapat keterangan bahwa Narto dipindahkan ke Padang. Namun si Bungsu teringat bisikan lelaki itu;
”Tawanan seperti saya, Sanak, jika nanti Sanak dengar tak kembali kemari, lalu ada orang yang mengatakan bahwa saya sudah dipindahkan ke penjara lain, maka itu berarti saya sudah ditembak mati. Mungkin di Ngarai di hutan Gadut. Mungkin di Tambuo. Mungkin di Ngarai di belakang Rumah Sakit. Mungkin di Ngarai di belakang Bukit Cangang. Di sanalah saya akan dihabisi.
Bukan hanya saya, sudah puluhan jumlahnya para tawanan yang lenyap tak tentu rimbanya dengan alasan pindah tahanan. Saya tahu dengan pasti Sanak, sebab saya adalah perwira intelijen di pasukan saya…”
Hari-hari setelah itu, suara bisikan lelaki yang ayahnya dari Jawa dan ibunya dari Matur itu seperti mengiang kembali. Tapi di suatu malam, tiba giliran si Bungsu yang dibangunkan. Persis seperti dulu Narto dipanggil. Komandan ingin bertemu, itu alasannya. Dia diangkut dengan sebuah jip.
Meluncur arah keluar kota. Dinginnya udara malam terasa mencucuk sumsum.
Tangannya diborgol ke belakang. Matanya ditutup dengan sebuah benda yang mirip karung. Dia tak tahu kemana dibawa. Sesudah berapa lama, mobil itu terasa berhenti. Si Bungsu tak bisa berbuat apa-apa. Ya, apa yang harus dia perbuat? Dimana dia kini? Di salah satu Ngarai yang pernah disebutkan oleh Narto itukah? Di sinikah dia akan dihabisi?
Dia teringat ketika berada di Jepang, di Singapura, di Australia. Di sana dia telah bertarung menghadapi peluru dan maut. Tapi masih hidup. Siapa sangka, malam ini dia mati justru di tangan bangsanya sendiri. Tapi, bukankah dia telah menjelaskan semuanya pada Komandan RTP II tentang siapa dirinya? Dia teringat, Komandan RTP II yang menanyainya itu adalah seorang Overste bernama Sabirin. Induk pasukannya adalah Brawijaya. Perwira itu mendengarkan ceritanya dengan seksama. Perwira itu tegas tetapi ramah dan simpatik.
Si Bungsu hanya menceritakan tentang kenapa dia membunuh OPR itu di Aur Kuning. Samasekali dia tak menceritakan bahwa dulu dia pernah berjasa membunuh puluhan tentara Jepang. Membunuh puluhan tentara Belanda dalam Agresi di Pekanbaru. Tidak, dia tak ingin mencari selamat dengan menceritakan sesuatu yang dia perbuat di masa lalu.
”Saya yakin, apa yang Saudara katakan adalah benar. Besok Saudara sudah bisa bebas…” ujar overste itu.
Tapi belum enam jam perwira itu bicara, kini dia diangkut dengan sebuah jip entah kemana dengan mata tertutup. Apakah ucapan perwira APRI itu sebuah kebohongan belaka, untuk menutupi hukuman tembak yang akan dia hadapi? Ah, rasanya seorang overste tak perlu berbohong begitu. Tak ada gunanya. Lamunannya terputus ketika jip berhenti dan dirinya dipapah turun.
Dibawa ke dalam sebuah rumah. Lalu tutup matanya dibuka. Dia jadi silau. Dia kini berada di suatu ruangan. Dalam ruangan itu ada beberapa tentara berbaret merah berbaju loreng, RPKAD! Dia kenal seragam mereka dengan segera. Inilah pasukan kebanggaan tentara Indonesia itu. Inilah pasukan yang ditakuti lawan dan kawan itu.
Mereka kini menatap padanya. Hm, siapa sangka, malam ini ternyata yang menembakku bukan sembarang tentara, melainkan RPKAD, bisik hati si Bungsu. Seseorang memberi isyarat. Borgol tangannya dibuka. Seorang letnan maju. Tegak di depan si Bungsu. Letnan itu tak begitu besar tubuhnya. Namun si Bungsu segera tahu, bahwa orang ini tangguhnya luar biasa. Letnan itu memperkenalkan namanya tanpa bersalaman.
”Saya dengar tentang kehebatanmu, kawan. Dari orang itu…”
Kata tentara itu sambil menunjuk ke sudut. Si Bungsu segera melihat Nuad, OPR yang dia hajar itu tegak di sana.
”Kabarnya engkau hebat karate dan judo. Semua orang di markas mengetahui dan menyaksikan. Saya juga penggemar olahraga itu. Saya pernah belajar di Amerika. Latihan pasukan khusus. Untuk diketahui, tak ada yang bisa menandingi saya dalam pasukan, kecuali komandan saya, Overste Kaharuddin Nasution. Nah, kini saya ingin menguji kemahiran saya itu dengan kehebatan Saudara…”
Si Bungsu masih Belum mengerti apa yang dimaksud letnan ini, namun tentara itu mulai membuka baret merahnya. Kenudian membuka kopelriem. Membuka sepatu dinas. Membuka pistol yang menggantung di pinggangnya.
”Tak usah takut. Kami dari RPKAD tak pernah berlaku curang. Saya hanya menantangmu berkelahi. Jika engkau kalah, maka engkau akan kami kembalikan ke tahananmu.
Besok kau akan bebas seperti janji Komandan RTP. Jika engkau menang, maka engkau juga akan menerima kebebasanmu tanpa harus khawatir sedikitpun. Engkau hanya kami pinjam untuk membuktikan, apakah memang ada orang yang lebih tangguh dari seorang anggota pasukan RPKAD!”
@
Tikam Samurai - IV