Tikam Samurai - 354

”Bohong! Tak ada kematian terhormat dalam hal yang terjadi atas ayahku. Dia memang mati harakiri. Tetapi dia harakiri karena malu atas perlakuanmu pada dirinya!”
”Michiko…!?”
”Apakah engkau menjadi pengecut, Bungsu? Engkau telah membunuhi puluhan orang Jepang dalam petualanganmu di negeri saya itu. Dan engkau merasa jadi pahlawan. Kini cabut samuraimu!” gadis itu membentak sambil mendahului mencabut samurainya.
Si Bungsu berharap petugas keamanan atau tentara muncul di sana. Kalau ada petugas keamanan atau tentara, dia yakin mereka bisa bertindak mencegah. Tapi tak seorangpun petugas yang hadir. Tak seorangpun tentara atau polisi yang menampakkan puncak hidungnya. Para petugas itu seperti telah bersekongkol dengan gadis ini untuk memberinya kesempatan membalas dendam. Tiba-tiba bayangan di stasiun kecil Gamagori melintas di kepalanya.
Bukankah dahulu dia juga pernah berkelahi melawan komplotan Kumagaigumi di stasiun kecil di Gamagori? Bandit-bandit Kumaigaigumi itu akan mengganggu Michiko. Namun dia ada disana untuk membelanya. Lima orang anggota Kumagaigumi berhasil dia bunuh. Bergelimpangan di stasiun kecil itu. Kemudian dia naik lagi ke kereta api. Menemui Michiko yang menangis karena menyangka dirinya telah mati. Di kereta api menuju Nagoya itu, dia memeluk bahu Michiko.
Gadis itu menyandarkan kepalanya lalu tertidur di bahunya. Dan sesaat sebelum gadis itu tertidur, dia menyanyi sebuah lagu Jepang. Lagu yang selalu dinyanyikan pelaut-pelaut yang rindu pada kampung halaman. Rindu pada kekasih, anak dan isteri. Dia coba mengingat bait lagu Jepang itu. Namun amat susah. Dia coba memikirkannya. Dalam kalut dia tak ingat bait bahasa Jepang. Yang ingat cuma bait bahasa Indonesianya.
”Jangan menangis. Jangan sedih.
Meskipun hujan turun lebat
Saya akan tetap pergi
Selamat tinggal
Lagu itu dia pelajari dari Kenji. Temannya sekapal saat menuju Tokyo dari Singapura. Lamunannya jadi terputus ketika dia dengar suara orang memekik memberi ingat. Sesaat nalurinya bereaksi cepat. Dia menjatuhkan diri ke lantai stasiun. Namun tak urung bahunya disabet oleh ujung samurai Michiko! Memang hanya luka gores. Tapi darah merembes. Dia bergulingan. Kemudian melompat tegak. Michiko tegak dua depa di depannya dengan kaki terpentang dan mata nyalang menatapnya.
”Cabut samuraimu…Bungsu! Jangan kau sangka bahwa dirimu saja yang hebat memainkan samurai….” bentak gadis itu.
Si Bungsu tak melihat jalan lain. Gadis ini memang menghendaki nyawanya.
”Ini kampung saya, Michiko. Saya tak ingin darahmu tertumpah di kampung saya ini…”
”Sombong kau! Tak setetespun darahku akan tertumpah di sini! Kau dengar itu, pembunuh! Tak setetespun! Jika engkau sanggup melukai diriku segores saja, maka aku akan menjilat telapak kakikmu! Percuma aku jadi murid Zato Ichi!”
Si Bungsu kaget, dia ingat Zato Ichi. Gadis ini bukan main jumawanya! Benarkah sudah demikian hebatnya dia memainkan samurai, sehingga dia sanggup berkata setakabur itu pada si Bungsu yang kesohor itu? Atau apakah gadis ini hanya ingin memancing amarah si Bungsu saja? Tak ada yang sempat memikirkan hal itu. Sebab saat berikutnya gadis itu telah menyerang. Si Bungsu mencabut samurai dengan sikap ”apa boleh buat”.
Ya, dia harus mempertahankan dirinya bukan? Orang hanya melihat dua sinar berkelebat. Kemudian bunga api memercik tatkala dua baja tajam itu berbenturan! Terdengar suara gemercing. Si Bungsu tersurut selangkah. Michiko masih tetap tegak di tempatnya. Si Bungsu jadi kaget. Kekuatan gadis itu ternyata luar biasa sekali. Getaran benturan samurai mereka terasa ke tulang tangannya.
Michiko menyerang lagi. Sebuah pancungan ke kepala. Si Bungsu menunduk. Sebuah pancungan ke pinggang. Si Bungsu menangkisnya dengan menegakkan samurainya di sisi badan. Dua baja samurai yang alot itu bertemu lagi. Suara berdentang. Bunga api memercik! Dan si Bungsu dengan kaget tepaksa melompat ke Belandaakang empat langkah! Samurainya hampir saja terpental karena benturan dahsyat itu.
Kalau itu terjadi, maka pinggangnya akan putus dua! Dia menatap dengan wajah pucat. Gadis itu selain cepat, tenaganya juga luar biasa sekali. Zato Ichi benar-benar menurunkan seluruh ilmunya pada gadis ini. Michiko tersenyum sinis. Orang-orang menatap dengan diam pada perkelahian sepasang anak muda yang mengagumkan itu.
”Keluarkan kepandaianmu, Bungsu! Takkan pernah ada bangsa lain yang melebihi kemahiran orang Jepang bersamurai! Kau sangka kemahiran samuraimu sudah hebat, setelah engkau mengalahkan beberapa jagoan di Jepang sana. Setelah engkau mendapat pengakuan Zato Ichi? Hmm, yang kau peroleh baru kulitnya. Bungsu! Engkau ingin tahu bagaimana bermain samurai yang betul? Ini…!” dan gadis itu menyerang lagi!
Kali ini si Bungsu tak mau main-main. Dia memusatkan konsentrasi. Nafsu membunuhnya yang dia bawa dari rimba di pinggang Gunung Sago seketika mengalir kencang. Mulutnya terkatup rapat. Tangannya melemas.



@



Tikam Samurai - 354