Si Bungsu tak dapat menahan tangisnya tatkala perempuan itu meninggal. Kedua anak-anaknya terdiam. Tak ada tangis mereka yang terdengar. Mereka sudah terlalu lelah menangis. Mereka hanya menatap pada mayat ibu mereka dengan diam dan tatapan kosong. Ucapan perempuan itu seperti menikam-nikam jantung si Bungsu. Ucapan itu memang bukan untuk menyindir siapa-siapa. Namun, si Bungsu merasa, ucapan perempuan itu menyindir jantung Minangkabau! Siapakah sesungguhnya yang tak tahu membalas budi? Narto dan keluarganyakah, atau anak-anakmu yang merejam mereka ini, Minangkabau, siapa?
Ketika kuburan perempuan itu ditutup oleh beberapa tentara APRI, yang membantu menggali lahat dengan sekop mereka, hujanpun turun. Tentara itu juga yang memimpin doa. Kemudian si Bungsu menancapkan sepohon kemboja yang dia patahkan dari pusara lama. Hujanpun makin lebat. Menyiram dan membasahi bumi Minangkabau yang berlumur darah. Azan Magrib berkumandang, malampun mengirimkan sunyi dan gelapnya ke permukaan bumi.
Esok paginya, setelah menitipkan kedua anak Narto ke komandan peleton yang akan cuti ke Jawa beberapa hari lagi, dan memberi anak-anak itu uang yang masih ada padanya, si Bungsu kembali ke Bukittinggi. Dia kembali menginap di Hotel Indonesia, di depan Stasiun Kereta Api. Dia memilih tempat itu agar lebih dekat ke stasiun, bisa sewaktu-waktu membeli karcis bila akan pulang ke kampungnya, Situjuh Ladang Laweh. Kereta api memang tidak sampai ke sana, hanya hingga Kota Payakumbuh. Tapi menginap dekat stasiun membuat dia bisa dengan mudah bertanya kapan kereta ke Payakumbuh berangkat, dan bisa pula dengan mudah membeli karcis.
Dalam situasi daerah bergolak seperti sekarang, tak setiap hari kereta api bisa berangkat. Baik ke Payakumbuh, Padangpanjang, Solok maupun Padang. Kadang-kadang dalam seminggu baru ada kereta ke salah satu kota itu. Itupun dengan mendapat pengawalan aparat kepolisisan atau tentara. Sabotase, entah dari pihak mana, bisa saja terjadi di suatu tempat. Setelah menanti tiga hari, akhirnya dia mendapat kabar kereta ke Payakumbuh akan berangkat besok dengan pengawalan beberapa polisi.
Besok dia akan pulang ke kampungnya. Ke Situjuh Ladang Laweh. Rasa rindunya terasa menusuk jantung. Dahulu dia sering dibawa ayahnya naik kereta api kalau ke Bukittinggi ini. Ah, melihat sawah dan desa-desa, mencium asap kereta api, merupakan kerinduan tersendiri. Sambil berbaring di tempat tidurnya, di Hotel Indonesia dekat stasiun itu, dia segera ingat peristiwa yang dialaminya saat di Jepang. Peristiwa ketika dia menuju Kyoto dari Tokyo. Di kereta api cepat dia bertemu dengan seorang gadis yang pernah dia tolong di Tokyo. Gadis itu adalah Michiko. Anak Saburo Matsuyama. Gadis yang dia tolong yang kemudian membenci dan memusuhinya setelah kematian Saburo di Kuil Shimogamo. Dia tak bisa melupakan betapa gadis itu pernah melukainya ketika upacara pemakaman ayahnya. Gadis itu bersumpah akan mencari dan membunuhnya.
Michiko ternyata memang mencarinya! Mencarinya sampai ke Bukittinggi! Pagi itu, saat dia akan melangkah menaiki kereta api di stasiun, ketika dia dengar sebuah suara memanggil. Dia tak jadi naik, menoleh ke belakang. Di antara palunan orang ramai, dia melihat seorang gadis tegak dengan sebilah samurai di tangan! Michiko! Dia tertegun. Palunan manusia yang ada di stasiun itu terkuak. Hingga tercipta sebuah lorong yang lapang antara gadis Jepang yang cantik itu dengan dirinya. Orang-orang menatap heran.
”Michiko…?” katanya perlahan menahan kejut.
”Ya. Engkau rupanya belum lupa pada saya, Bungsu….”
Suara gadis itu terdengar lantang. Seperti bersipongang di peron stasiun itu.
”Selamat datang…di kampungku, Michiko san….” ujarnya sambil coba tersenyum. Padahal hatinya mulai tak sedap melihat sikap gadis itu yag tak bersahabat sedikitpun.
”Terimakasih. Saya memang melihat kampungmu indah, Bungsu san. Tapi saya datang bukan untuk menikmati keindahannya. Saya datang dari Jepang mencarimu ke mari untuk menuntut balas. Ingat persoalan yang ada di antara kita?”
Suara gadis itu makin lantang. Orang-orang pada diam tak bergerak. Si Bungsu jadi serba tak sedap. Dia menyesal telah membawa samurainya saat itu. Kenapa tadi tak dia masukkan saja ke dalam buntalan kainnya? Kini samurainya terpegang di tangan kiri. Gadis itu juga memegang samurai di tangan kiri. Dia jadi serba salah. Akankah dia melayani kehendak gadis ini kalau dia menantangnya untuk berkelahi? Akankah dia membunuh gadis itu, atau justru dia yang terbunuh di sini? Ketika dia berfikir demikian, gadis itu memandang ke palunan orang ramai di stasiun. Lalu terdngar suaranya :
”Saya Michiko, anak bekas serdadu Jepang yang pernah membunuh beberapa lelaki dan perempuan di Minangkabau ini. Ayah saya sudah mati. Dibunuh oleh lelaki ini…” dan tangannya menunjuk pada si Bungsu.
”Ketika menjadi tentara ayah saya membunuh ibu, ayah dan kakaknya. Dia lalu datang ke Jepang sana, lalu membunuh ayah saya dengan alasan menuntut balas. Kini dari Jepang saya datang kemari, untuk menuntut balas pula atas kematian ayah saya itu. Bukankah adil, kalau setiap anak menuntut balas kematian ayahnya?”
Orang pada terpana. Si Bungsu merasa dirinya berpeluh.
”Tidak benar demikian, Michiko-san. Ayahmu tidak mati di tangan saya. Saya tak pernah membunuhnya. Ayahmu mati karena harakiri, seppuku!. Dia mati terhormat….” ujar si Bungsu mencoba memberikan pengertian kepada orang ramai, sekaligus melunakkan hati gadis itu.
@
Tikam Samurai - IV