”Tuan saya lihat kurang sehat….” katanya perlahan.
Dan babah itu menyangka bahwa gadis itu memancingnya. Artinya gadis Jepang itu sengaja memancing-mancing.
”Ya, saya sakit. Debar jantung saya sangat keras. Rasakanlah…”
Dengan cepat dan sigap dia meraih tangan Michiko, menekankan ke dadanya. Michiko yang kaget tangannya disambar begitu, semula akan menyentakkannya. Tapi takut dianggap tak ramah, dan melihat lelaki gemuk itu memang pucat dan gemetar serta berpeluh, dia membiarkan tangannya ditekankan ke dada lelaki itu.
Dada lelaki itu memang gemuruh. Apalagi mendapat kenyataan bahwa gadis itu tak menolak tangannya dipegang dan ditekankan ke dadanya. Michiko mula pertama merasakan tangannya menekan segumpal daging yang bergoyang di dada Cina gemuk itu. Kemudian dia memang merasakan denyut jantung Cina itu tak beres. Cepat-cepat dia menarik tangannya.
”Lebih baik panggil pramugari…” katanya.
Tapi dengan cepat Cina itu memegang lagi tangan Michiko.
”Jangan, jangan dipanggil. Kalau mau agak sesaat saja meraba dada saya, akan sembuh segera…” katanya sambil tetap menekankan tangan gadis itu ke dadanya.
Tapi Michiko baru dapat merasakan sesuatu yang tak beres pada sikap babah gemuk itu. Dia menarik tangannya dengan paksa. Kemudian menatap dengan heran. Cina itu malah nyengir penuh maksud. Michiko menoleh lagi keluar, perasaannya jadi tak sedap. Kaki Cina itu di bawah menggeser-geser kakinya. Michiko tak ingin bikin ribut dalam pesawat ini. Banyak orang kulit putih dan satu dua orang Indonesia. Dan cukup banyak pula orang Cina.
Dia menoleh ke belakang. Kemudian berdiri, pura-pura akan ke WC. Padahal dia ingin mencari tempat kosong. Karena tempat lewat di depan cina itu sempit, dia lalu membelakang. Ketika lewat pinggulnya bergeser dengan lutut Cina itu. Cina gaek dan gepuk jahanam itu memang sengaja menyorong-nyorongkan lututnya ke depan dan agak meninggikannya. Sehingga lututnya tertekan oleh pinggul Michiko yang sedang lewat. Michiko yang menyangka bahwa jalan itu memang sempit, terus saja menggeser diri. Michiko pura-pura menuju toilet.
Sambil berjalan, dia melirik kiri kanan. Berharap menemukan sebuah kursi kosong untuk bisa pindah duduk. Namun pesawat Dakota yang bermuatan 20 orang itu penuh semua. Dia masuk ke toilet. Berkaca dan mendapatkan wajahnya agak pucat karena malu dan berang. Dia merasa muak untuk kembali ke tempat duduknya. Tapi terlalu lama di toilet ini juga mustahil. Dia lalu keluar lagi. Yaitu setelah hampir setengah jam dalam kakus itu.
Mau tak mau dia kembali lewat di depan Cina gemuk itu. Cina gemuk itu, seperti tadi lagi, menyorongkan lututnya. Kini tangannya juga ikut menggerayang. Meremas pinggul Michiko. Wajah Michiko jadi merah padam. Dia menatap dengan penuh berang pada Cina itu. Hampir saja dia menyambar samurainya yang tertegak di sisi tempat duduknya. Namun dia tak mau huru hara terjadi. Kalau itu dia lakukan, maka perjalanannya ke Minangkabau bisa terhalang. Makanya dia terpaksa menerima perlakuan itu dengan menekan amarah. Tapi celakanya Cina itu benar-benar tak tahu diri. Diamnya Michiko dia sangka sebagai persetujuan untuk berbuat makar. Dia nyengir, memperlihatkan tiga gigi emasnya yang sudah menghitam karena candu. Mana sudi Michiko menatapnya. Gadis itu melempar pandangan ke luar.
Untunglah pesawat segera tiba di Lapangan Udara Kemayoran, Jakarta. Kalau tidak, penderitaan gadis itu tentu takkan berujung. Michiko menunggu Cina itu turun duluan. Tapi Cina itu seperti mananti kesempatan untuk menekan pinggul gadis itu dengan lututnya kembali.
”Silahkan nona tulun duluan…” katanya meramahkan diri.
Michiko memandangpun tidak. Saat itu tangannya sudah memegang samurainya. Kalau Cina itu coba berbuat kurang ajar lagi, akan dia hantam saja. Tapi Cina itu tegak. Kemudian turun. Akhirnya Michiko juga turun. Celakanya mereka bertemu lagi di imigrasi.
”Hmm, ini apa yang bawa, nona?” seorang petugas imigrasi menunjuk pada tongkat di tangan Michiko.
”Samurai, tuan…” katanya.
”Samurai?” petugas itu heran.
”Ya. Samurai. Belum pernah melihat senjata begini?”
”Ah, saya terlalu sering melihatnya, nona. Saya hanya tak mengerti buat apa senjata berbahaya begini nona bawa-bawa…” ”Seorang teman ayah saya memesannya untuk kenang-kenangan…”
Petugas imigrasi itu tampaknya agak keberatan. Dia kembali memeriksa paspor Michiko. Dalam paspor itu tertulis bahwa Michiko adalah turis. Dan saat itu adalah sesuatu yang agak aneh kalau ada orang mengaku turis datang ke daerah. Apalagi daerah itu adalah daerah yang baru saja bergolak seperti Sumatera Barat. Tapi ketika Michiko memperlihatkan sepucuk surat, yang ditandatangani oleh overste Nurdin, Atase Militer Indonesia di Malay yang berkedudukan di Singapura, petugas itu tak banyak cincong lagi. Michiko keluar dari kawasan itu.
@
Tikam Samurai - IV