Nurdin menghela nafas. Salma menghela nafas. Kedua mereka menatap gadis itu. Gadis itu menunduk. Seperti telah diceritakan pada bahagian terdahulu, Michiko memang tinggal di gedung konsulat itu bersama Salma. Yaitu sejak peristiwa mereka hampir diperkosa pelaut di hotel dimana Michiko menginap, tatkala Salma datang bertamu ke sana.
Kini, keinginan Michiko untuk ke Sumatera Barat tak mungkin ditahan. Nurdin memberikan peta Sumatera Barat, serta petunjuk dimana letaknya Situjuh Ladang Laweh. Salma memberikan beberapa alamat famili dan kenalannya di kota Bukittinggi untuk dihubungi Michiko bila ada kesulitan. Tatkala Michiko akan naik pesawat, Nurdin berpesan:
”Saya berharap akan dapat bertemu dengan kalian berdua, Michiko. Maksud saya engkau dan si Bungsu. Saya tahu, engkau berdendam padanya. Namun, saya benar-benar menginginkan tak satupun di antara kalian yang cedera…”
Michiko hanya tersenyum. Senyumnya kelihatan getir. Sebelumnya Salma juga sempat bicara empat mata dengannya.
”Sebagai perempuan dengan perempuan, Michiko, saya ingin mengatakan padamu. Engkau punya kesempatan untuk bertemu dengannya. Lelaki yang sama-sama kita cintai. Engkau satu-satunya yang memiliki kesempatan untuk mendapatkan dirinya. Jangan biarkan dirimu dikuasai oleh dendam keparat itu. Itu nonsens sama sekali. Berfikirlah dengan akal sehat. Dia takkan mau melawanmu, aku tahu itu bukan sifatnya. Bila dia engkau bunuh Michiko, sama artinya engkau membunuh harapanmu sendiri. Kau akan menyesal seumur hidupmu. Kalian kini sama-sama sebatangkara. Yang kalian butuhkan adalah kasih sayang. Bukan perkelahian dan saling bunuh. Sebagai seorang yang lebih tua darimu, Michiko san, saya ingin engkau bahagia. Saya ingin si Bungsu bahagia. Dan saya yakin, kebahagiaan itu takkan kalian peroleh kalau kalian tidak bersama. Saya ingin mendengar kabar bahwa kalian menikah. Saya akan menanti kalian di sini, datang sebagai suami isteri. Saya selalu berdoa untuk itu, Michiko, adikku!”
Michiko amat terharu dan tak bisa menahan air matanya mendengar ketulusan hati Salma. Dia memeluk Salma. Salma juga balas memeluk dengan mata basah. Dan Michiko pun berangkat. Di pesawat dia duduk dengan diam. Berusaha menyembunyikan rasa sedihnya berpisah dengan Salma. Keluarga itu sudah seperti keluarganya sendiri. Dia menganggap mereka sebagai kakaknya.
Michiko tak tahu, seseorang yang duduk persis di sisinya sejak tadi menatapnya. Seorang Cina gemuk, bermuka tembem dan berambut tegak lurus seperti alang-alang di tengah padang. Berhidung besar dan bermata kuning. Lelaki itu menatapnya dengan bernafsu. Beberapa kali tangannya dia sentuhkan ke tangan Michiko. Gadis itu, yang pikirannya memang tak di situ, tak menyadarinya. Bagi si babah gemuk itu diamnya Michiko dia anggap sebagai ”persetujuan” untuk saling senggol-senggolan.
Cina itu makin kurang ajar. Matanya menatap pada dada Michiko yang membusung ketat. Darahnya menggelegak melihat dada yang ranum itu berombak mengikuti alunan nafas. Michiko baru sadar tatkala tangannya benar-benar dihimpit oleh tangan engkoh gendut itu. Dia menoleh, disambut Cina itu dengan tersenyum. Michiko yang tak punya prasangka apa-apa, sambil menggeser tangannya dari himpitan tangan si gendut juga tersenyum, sekedar basa-basi. Babah itu seperti mendapatkan durian runtuh. Eh, salah. Tidak hanya durian tapi juga pisang, kelapa, rambutan dan jambu monyet yang runtuh sekaligus.
”Akan ke Jakalta?” tanya si gendut dalam bahasa Indonesia dengan aksen Tionghoa yang tak ketulungan.
Michiko mau tak mau mengangguk. Babah itu kembali menggesengkan tangannya yang besar ke tangan Michiko. Michiko mengalihkan tangannya dari tangan kursi. Meletakkannya di pangkuan.
”Sendilian?” lagi-lagi si babah bertanya sambil menjilat bibir.
Michiko mulai tak sedap, tapi dia paksakan juga untuk mengangguk. Melihat anggukan itu, babah itu seperti merasa tercekik. Kerongkongannya terasa kering. Dia ingin segera tiba di Jakarta. Di sana segalanya bisa di atur. Dia menyesal juga kenapa tidak bertemu dengan gadis begini di Singapura. Memang banyak gadis yang bisa segera dibawa ke tempat tidur di kota singa itu. Tapi yang cantik seperti ini tak pernah bersua!
Michiko menoleh ke luar. Memandang ke laut luas yang membentang jauh di bawah sana. Sesekali, kelihatan sebuah titik diikuti garis memanjang seperti segitiga. Sebuah kapal tengah berlayar di Samudera di bawahnya. Garis membentuk segitiga itu adalah ombak yang dibentuk oleh lunas kapal pada permukaan laut. Pada saat itu, babah gemuk itu juga asik memandang pada segitiga di dada Michiko.
Gadis itu memakai baju dengan gunting segitiga runcing pada dadanya. Di ujung segitiga pada bajunya itu terlihat pangkal dadanya yang mengkal.
Babah itu merasa dadanya sesak. Peluh membasahi keningnya. Tubuhnya gemetar. Dia ingin menerkam gadis di sisinya ini. Cina ini nampaknya dijangkiti penyakit gila seks. Saat itu Michiko menoleh, melihat babah itu berpeluh dan matanya jadi merah.
@
Tikam Samurai - IV