Tikam Samurai - 372

Dia segera menuju gerbong satu. Benar, di sana tak ada tentara seorangpun. Dia hanya bertemu dengan seorang polisi lagi berpangkat Komandan Muda. Setelah memberi hormat dia berbisik pada polisi yang memakai tanda pangkat dari aluminium dengan dua setengah garis di kelepak bajunya itu. Polisi itu tegak, lalu sama-sama menuju ke gerbong dua. Bergabung dengan polisi yang tadi mengintai ke empat lelaki di gerbong tiga itu.
”Apakah pasti dia Datuk Hitam?” tanya komandan muda itu.
”Benar pak. Saya yakin itu pasti dia. Ada akar bahar melilit di lengan kanannya. Ada codet tanda luka di pipi kirinya. Nampaknya dia mengatur sesuatu bersama tiga temannya di Gerbong tiga.”
”Dia berbahaya. Apakah kita akan bisa menangkapnya?”
”Kita pasti bisa, Pak…”
”Barangkali bisa. Tapi akan banyak jatuh korban di antara penumpang”
Kemungkinan terjadinya hal terburuk itu, yaitu jatuhnya korban di antara penumpang menyebabkan para polisi itu berunding mencari jalan terbaik. Bagaimana penumpang tidak menjadi korban, tapi datuk kalera itu bisa diringkus. Kalau melawan dibunuh saja sekalian.
Kereta api meluncur terus. Saat itu sudah hampir sampai di Stasiun Baso. Ketiga polisi itu duduk kembali. Mereka tak ingin rencana mereka diketahui oleh kawanan Datuk Hitam itu. Ya, lelaki yang sedang berencana dengan ketiga temannya itu memang benar Datuk Hitam. Lelaki yang dulu akan merampas uang yang diberikan oleh si Bungsu pada Reno dan suaminya yang tukang saluang di Los Galuang. Datuk itu adalah seorang penjahat yang baru pulang dari Betawi.
Di ibukota sana dia juga dikenal sebagai pemakan masak matah. Sebenarnya dia tidak bergelar datuk. Dia bukan pula ninik mamak. Tapi karena tubuhnya hitam dan dia kepala begal, maka orang memanggilnya sebagai Datuak Hitam. Semacam sindiran, datuk dari dunia hitam. Kini dialah yang berada di kereta api itu. Kereta memasuki Desa Baso. Polisi itu menyebar ke pintu. Namun mereka terkejut. Penompang-penompang juga heran. Kereta tak dilambatkan oleh masinis, tapi meluncur terus melewati Baso.
”Celaka, ada yang tak beres pada masinis…”
Bisik polisi yang berpangkat komandan muda, dia bergegas menemui temannya.
”Ayo ke depan, temui masinis…” katanya.
”Masinis di belakang…” kata polisi yang seorang.
”Di belakang..?”
”Ya, lokomotifnya berada di belakang, nampaknya kereta ini datang dari Padang Panjang. Biasanya di Bukittinggi kepalanya ditukar, diletakkan di depan. Tapi yang satu ini nampaknya tidak….”
”Kalau begitu mereka telah mengancam masinis….” kata komandan muda itu.
Ucapan polisi itu ternyata benar. Kawanan Datuk Hitam itu rupanya mengetahui bahwa rencana mereka dicium oleh beberapa polisi yang ada dalam kereta api tersebut. Maka salah seorang di antara mereka segera disuruh Datuk Hitam untuk menyergap masinis.
”Jalankan kereta terus…” seorang lelaki bertubuh besar mengancam si masinis.
Masinis itu menyangka orang ini bagarah. Dia sudah memperlahan kereta ketika akan memasuki Baso. Tapi sebuah tikaman di lengannya membuat dia terpekik.
”Saya akan tikam jantungmu, kalau kau tak mengikuti perintah saya….” lelaki itu mengancam.
Si masinis yakin bahwa orang ini memang tak main-main. Dia jadi kecut, lalu kembali mempercepat keretanya. Orang-orang yang sudah berkumpul di Stasiun Baso merasa heran ketika melihat kereta itu tiba-tiba menambah kecepatan. Lalu semua pada berseru, ketika kereta itu lewat di depan mereka dengan kecepatan yang dipertinggi.
”Tarik rem bahaya….” komandan muda itu berseru.
Dua orang di antara polisi segera menjangkau ke atas mencari tempat rem bahaya. Namun saat itu pula terdengar sebuah letusan. Salah seorang di antara polisi itu terpekik. Tangannya disambar peluru. Lalu terdengar suara mengancam dari arah belakang.
”Jangan main-main. Kalau tak ingin kutembak…”
Mereka menoleh. Di sana berdiri Datuk Hitam dengan pistol di tangan. Orang jadi panik dan mulai berdiri. Kembali terdengar tembakan. Seseorang memekik, lalu rubuh.
”Semua diam di tempat kalau ingin selamat! Diammm…!” terdengar bentakan si Datuk mengguntur.
Semua penompang terdiam. Polisi yang dua lagi menghunus senjata.
”Lemparkan senjatamu, Datuk! Kalian tak mungkin membalas. Kami memiliki senjata lebih banyak dari kalian…” komandan muda itu berseru.
Sebagai jawabannya, terdengar tawa cemooh.
”Kau polisi kentut! Jangan banyak bicara. Kau lemparkan senjatamu ke mari. Kalau tidak, kami akan mulai membantai penumpang!”
Polisi yang bertiga itu saling pandang di tempat perlindungan mereka, di antara kursi.
”Jangan main gila, Datuk. Kalian akan digantung kalau kalian berani mengganggu penumpang. Di Stanplat Padang Tarok ada satu kompi tentara. Kalian pasti mereka tembak!”
Kembali terdengar tawa penuh cemooh.



@



Tikam Samurai - 372