Tikam Samurai - 371

Pokoknya dia harus ziarah, dengan pikiran demikian lalu dia melangkah lagi kearah hotelnya. Dia akan pulang dengan kereta api pagi ini, Namun ketika kakinya menjejak halaman hotel hatinya berdebar kencang sudah tibakah gadis itu dihotel? Di ruang tamu, pelayan yang tadi mengatakan padanya tentang kehadiran Michiko kelihatan tengah menulis di buku tamu.
“Hai, ini dia bapak itu..!”pelayan itu berseru, si Bungsu hampir terlonjak. Darahnya hampir berhenti berdenyut, jantungnya hampir berhenti berdetak. Ternyata gadis itu telah ada dihotel pikirnya, bibirnya tiba-tiba kering.
“Ada apa?” tanyanya setelah sejenak berdiam diri
“Tidak, saya gembira Bapak sehat-sehat saja….”jawab pelayan itu.
Srrr! Darah si Bungsu berdesir kaget, ucapan pelayan itu seperti memnyindirnya.
‘sehat-sehat saja‘ bukankah itu suatu sindiran langsung, bahwa pelayan itu mengatakan kalau dia takkan ‘sehat-sehat saja’ kalau telah berhadapan dengan Michiko? apakah pelayan ini telah tahu maksud kedatangan Michiko untuk membalas dendam padanya?
“Dia belum pulang pak, tunggu saja sebentar lagi….”pelayan itu berkata seperti orang berbisik. Si Bungsu menyumpah-nyumpah dalam hatinya. Jelas yang dimaksud pelayan itu adalah Michiko. Ternyata gadis itu belum pulang kehotel, hatinya sedikit lega, dia melangkah kedalam kamarnya.
“Saya berangkat hari ini…”katanya sambil menerima kunci.
“Siang atau sore pak?..”
“Pagi ini..”
“Pagi ini?”
“YA…”
“Ah, jangan terburu-buru pak….”Tapi si Bungsu mengacuhkannya.
Dia membuka pintu kamar dan melirik ke kamar sebelah, kekamar yang dihuni oleh Michiko.Kamar itu masih tertutup dan terkunci,dia mengemasi barang-barangnya lalu membayar sewa hotel.
“Bapak akan kemari lagi, bukan?”tanya pelayan itu.Si Bungsu tidak menjawab, dia menjinjing tas kecil yang berisi pakaian, kemudian berangkat ke stasiun. Di stasiun gebalau orang-orang ramai terdengar seperti lebah. Dia membali karcis.
 “Masuklah Pak, sebentar lagi kereta berangkat” kata penjual karcis.
Si Bungsu belum sempat mengangguk ketika peluit panjang berbunyi. Tanda kereta akan berangkat. Dia melangkah ke peron. Menyeruak di antara orang-orang ramai. Masuk ke kereta. Ketika dia terduduk di bangkunya, hatinya terasa agak lega. Kereta itupun mulai bergerak. Suaranya mendesis, gemuruh. Angin dari sawah dari kampung Tengah Sawah yang berada di seberang stasiun menampar-nampar wajahnya.
Perasaan tenteram menyelusup ke hatinya. Dia menarik nafas panjang. Rasanya lega benar meninggalkan kota ini. Makin cepat makin baik. Ah, demikian takutnya kah anak muda ini pada Michiko? Apakah mimpinya malam tadi membuat hatinya jadi goyah? Tak ada yang tahu dengan pasti. Namun memang benar, bahwa hatinya amat lega dapat cepat-cepat meninggalkan kota itu. Entah mengapa, hatinya amat lega bisa cepat-cepat naik kereta api menuju Payakumbuh, untuk ziarah ke makam keluarganya.
Kereta berlari terus. Saat itu telah melewati sawah-sawah yang membentang di Tanjung Alam. Saat itu pula, di bahagian Belakang, di antara para penompang yang duduk bersesak di gerbong tiga, empat orang lelaki saling berbisik. Kemudian mereka mulai berdiri. Dua orang berjalan ke depan. Dua orang lagi melihat-lihat situasi. Sepuluh menit kemudian mereka berkumpul lagi di gerbong tiga. Kembali berbisik-bisik.
”Ada dua orang polisi di gerbong dua dan seorang di gerbong satu,” bisik yang seorang.
”Mereka membawa bedil?” tanya yang seorang dengan tetap berbisik.
”Seorang pakai pistol, dua lainnya berbedil panjang….” bisik yang seorang lagi.
Keempat lelaki itu berunding lagi dengan saling berbisik. Penompang-penompang melihat dengan diam. Tak seorangpun tahu apa yang diperbisikkan mereka di antara deru roda kereta api itu. Namun ada salah seorang di antara polisi menjadi curiga. Dia melihat dua orang lelaki bertampang kasar mondar-mandir dari gerbong dua ke gerbong satu. Dengan tidak menimbulkan kecurigaan, dia memperhatikan perangai kedua lelaki itu. Mereka nampaknya seperti memperhatikan penompang satu demi satu. Memang tak begitu kentara. Tapi sebagai seorang polisi, dia dapat menangkap maksud tak baik dari gerak gerik kedua lelaki itu.
Ketika kedua lelaki itu bergabung dengan temannya di gerbong tiga, diam-diam polisi itu membuntutinya, lalu melihat dari kejauhan. Tiba-tiba dia seperti teringat pada seseorang. Dia seperti mengenal lelaki bertubuh besar yang tengah berbisik-bisik dengan tiga orang temannya itu. Dia coba mengingat-ingat. Ketika dia teringat siapa lelaki itu, polisi tersebut segera menemui temannya yang duduk di sebelahnya tadi, lalu berbisik. Polisi yang seorang itu tertegun.
”Tak ada teman-teman alat negara lainnya di dalam kereta ini?” bisiknya.
”Di gerbong dua ini hanya kita berdua. Di gerbong tiga tak ada seorangpun. Saya tak tahu apakah ada alat negara lainnya di gerbong satu.”
”Biasanya ada pengawalan tentara. Biar saya lihat, engkau tunggu di sini….” ujar polisi itu seraya tegak.



@



Tikam Samurai - 371