”Terimakasih, Sanak. Terimakasih. Kemurahan hati dan budi Sanak tidak hanya membuat kami sadar pada kekeliruan kami selama ini, tapi sekaligus juga memperpanjang nyawa kami. Kami yakin, jika Sanak mau sejak tadi dengan mudah kami Sanak bunuh. Semudah membalik telapak tangan. Terimakasih atas nasehat Sanak. Sekali lagi terimakasih, Sanak telah memberi kesempatan bagi kami untuk tetap bisa bertemu dengan anak dan isteri yang menunggu di kampung. Apapun kebaikan yang kami buat kelak, takkan mampu membayar kebaikan sanak kepada kami. Kepada Bapak dan Siti, juga kepada Pak Wali, kami mohon maaf.,” berkata begitu si komandan lalu mengambil bungkusan saputangan berisi uang dan perhiasan yang tadi diambil anak buahnya dari rumah, kemudian meletakkannya di atas meja di depan pemilik kedai tersebut.
”Sebelum subuh datang, sebaiknya kami pergi…”
Sehabis berkata, dengan berlinang air mata karena dibiarkan tetap hidup, si komandan menyalami si Bungsu, pemilik kedai dan walinagari, diikuti kedua anak buahnya. Lalu dengan sekali lagi mengucapkan terimakasih pada si Bungsu, mereka menyelusup keluar dari kedai itu. Lalu lenyap dalam gelap dan embun subuh yang sejak tadi sudah menyelimuti kampung-kampung di kaki Gunug Sago itu. Kesunyian di kedai kecil itu dipecahkan oleh suara lelaki tua pemilik kedai tersebut.
”Dua kali kau menyelamatkan kami, Nak. Engkau seperti malaikat yang dikirimkan Tuhan ke kedai ini, persis di saat-saat yang sangat genting. Kami dua beranak tidak tahu bagaimana membalas budimu…”
Si Bungsu hanya menatap dengan tenang.
”Saya sangat lapar, apakah mungkin saya minta bantuan Siti menanakkan nasi? Saya rasa kita makan dengan Pak Wali bersama-sama. Saya rasa besok belum tentu ada orang yang mau menanakkan nasi buat saya di Situjuh Ladang Laweh. Di sana tak ada lagi sanak famili saya. Mamak saya suami isteri, sudah meninggal. Anaknya Reno Bulan kini berjualan kain di Bukittinggi bersama suaminya.”
Siti hiba hatinya saat si Bungsu berkata ”besok belum tentu ada orang yang mau menanakkan nasi buat saya”.
”Saya akan tanakkan nasi untuk Uda. Tapi … bila Uda bertemu dengan kak Reno? Kabarnya hidupnya susah, dia ikut suaminya yang tukang salung..”
”Saya bertemu dengannya beberapa bulan yang lalu. Sebelum peperangan besar melanda Bukittinggi. Dulu suaminya memang tukang salung. Tapi berkat yakin, dari uang yang mereka kumpulkan sedikit demi sedikit, kini mereka sudah berjualan kain di Los Galuang.”
Siti menatap lelaki yang tak pernah lenyap dari hatinya itu nanap-nanap. Kemudian mulai menjerang nasi, menyiangi ikan limbat dan gurami yang dibeli sore tadi dari orang yang memancing di sungai kecil tak jauh dari kampung itu. Kemudian menggorengnya dengan cabe hijau yang dia giling. Sambil menanti Siti bertanak, ketiga lelaki itu terlibat pembicaraan tentang pertempuran PRRI dan APRI di Bukittinggi. Tentang ratusan korban yang bergelimpangan yang dikumpulkan di bawah Jam Gadang, yang tidak jelas apakah penduduk atau tentara PRRI.
Ketika azan subuh terdengar, walinagari minta diri seraya juga mengucapkan terimakasih kepada si Bungsu atas perannya menyelamatkan Siti dan ayahnya, sekaligus menyadarkan ketiga orang PRRI yang sering jadi momok di kampung-kampung di kaki Gunung Sago itu. Si Bungsu menompang sembahyang subuh di rumah itu. Mereka sembahyang berjamah, dengan ayah Siti sebagai Imam. Usai sembahyang Siti meletakkan kopi dan ketan serta pisang goreng yang dia siapkan dengan cepat.
Tapi akhirnya tiba juga saat yang sangat dia takuti, sangat tidak dia ingini. Yaitu saat si Bungsu minta diri. Entah mengapa, dia ingin anak muda itu berada lebih lama lagi di rumahnya. Namun si Bungsu sudah minta diri.
”Saya harus pergi, terimakasih masakanmu Siti. Selamat jalan kalau kelak Bapak dan Siti berangkat ke Negeri Sembilan. Salam saya kepada suamimu, Sutan Sinaro, Siti…” ujar Si Bungsu. Siti menatap si Bungsu, kemudian tertunduk. Ada manik-manik air mengalir perlahan di pipinya.
”Akan lama Uda di Situjuh?”
”Saya tidak tahu, Siti. Seperti saya katakan tadi, di sana tidak ada lagi sanak famili saya..”
”Kalau sebelum kami pergi Uda lewat di sini, singgahlah. Saya akan menanakkan nasi untuk Uda..”
Rumah Gadang tempat dia lahir dan menjalani masa remaja, rumah dimana ayah, ibu dan kakaknya mati ditangan Saburo dan pasukannya, masih terurus dengan baik. Dia dapat cerita dari Reno Bulan sewaktu di Bukittinggi bahwa rumah itu kini dihuni kemenakan ayahnya. Waktu mereka bertunangan dulu kemenakan ayahnya itu berada di Jambi, menikah dan berdagang di sana. Si Bungsu tak pernah mengenal kemenakan ayahnya itu. Karenanya dia sengaja tak singgah di rumah tersebut. Kendati hatinya direjam rindu, namun dia hanya melihat dari kejauhan saat akan menuju ke pekuburan. Sudah tiga hari dia di kampungnya ini. Pandam pekuburan kaum dimana keluarganya dimakamkan sudah tak terurus dan ditumbuhi lalang padat.
@
Tikam Samurai - IV