Tikam Samurai - 379

Dia baru menemukan ketiga kuburan keluarganya itu setelah mencari dengan susah payah. Selama di kampung dia tidur di masjid dimana dulu terjadi keributan karena tentara Jepang akan menangkap Sawal dan Malano, dua pejuang yang sebelumnya mencuri senjata di gudang tentara Jepang di Kubu Gadang.  Peristiwa itu terjadi setelah dia ikut sembahyang berjamah di masjid itu. Sawal adalah anak haji yang menjadi imam di masjid tersebut. Itu adalah hari pertama dia turun dari puncak Gunung Sago. Dan hari itu, untuk membela Saleha, anak kedua Imam masjid dan sekaligus menolong Sawal dan Malano agar tak tertangkap, dia membunuh ketiga Jepang yang datang itu. Itulah kali pertama dia membunuh tentara Jepang.
Kini tak ada lagi orang sembahyang berjamaah di masjid itu. Pergolakan merobah kampung itu, dan juga kampung-kampung lain di pedalaman Minangkabau. Sebagaimana dijelaskan walinagari di kedai Siti, para lelaki sebagian ada yang ikut masuk hutan bergerilya melawan tentara pusat dengan sukarela. Sebagaian lagi ikut dengan terpaksa. Sebagian yang lain lagi pada meninggalkan kampung. Merantau ke Jawa, Tanjung Pinang atau Pekanbaru. Sebagian besar yang tinggal di kampung adalah orang-orang tua, lelaki maupun perempuan.
Jika di kota seperti di Payakumbuh, Bukittinggi dan Batusangkar saja orang jarang sembahyang berjamah ke masjid, apa lagi di kampung-kampung kecil di kaki Gunung Sago itu. Tapi keadaan itu membuat si Bungsu agak tenteram. Karena hampir tak ada orang yang tahu dia berada di kampung itu. Situjuh Ladang Laweh, karena letaknya di pinggang Gunung Sago, situasinya sangat rawan. Letaknya itu menyebabkan desa tersebut setiap sat dengan mudah didatangi pasukan PRRI. Sebaliknya, pada waktu tertentu tentara pusat yang disebut sebagai APRI itu datang ”membersihkan” desa-desa dari PRRI yang mereka sebut sebagai ”gerombolan”.
Penduduk benar-benar seperti memakan buah simalakama. Mereka tak mungkin menolak bila ada dua atau tiga anggota PRRI yang singgah dan meminta nasi. Namun bagi orang tertentu hal itu digunakan untuk mencari keuntungan bila tentara APRI datang. Bisa saja untuk balas dendam bila orang yang rumahnya didatangi PRRI itu adalah orang yang berseteru dengannya. Sebaliknya, bila yang naik ke sebuah rumah adalah anggota TNI dari APRI, maka itu juga bisa dijadikan sumber fitnah oleh seterunya. Lapor melapor antar-sesama penduduk seperti itu bukan hal yang jarang terjadi. Itulah yang menyebabkan orang merasa lebih baik angkat kaki dari kampung halaman mereka. Pergi merantau ke Jawa, ke Riau atau ke daerah lain.
Si Bungsu tengah menuju ke pemakaman untuk kembali membersihkan kuburan keluarganya itu. Saat lewat di depan rumah milik kedua orang tuanya, dimana dahulu dia hidup di sana, dia lihat seorang lelaki separoh baya tengah membelah-belah kayu di bawah rumah gadang tersebut. Lelaki itu menoleh ke arahnya. Dia cepat-cepat mengalihkan pandangan dan terus berjalan. Dia tahu, lelaki itu adalah kemenakan ayahnya yang menunggu rumah gadang tersebut.
Lewat tengah hari dia selesai membuat ketiga makam keluarganya menjadi amat bersih. Selain ketiga makam itu, dia juga membersihkan tiga atau empat makam di sekeliling makam keluarganya tersebut. Pergolakan tidak hanya membuat kampung menjadi lengang, juga menyebabkan kuburan, kebun, sawah dan ladang menjadi terlantar. Rumah-rumah yang tidak berpenghuni atap ijuknya pada ditumbuhi lumut atau sakek.
Saat akan mengakhiri pekerjaannya membersihkan kuburan itu tiba-tiba jantungnya berdebar. Dia tegak, menatap keliling. Hanya ada belukar yang semakin lebat. Debar jantungnya makin menguat. Biasanya debar seperti itu adalah isyarat datangnya bahaya. Jauh di atas sana dua ekor elang terbang berputar seperti sedang mengintai mangsa. Dia memejamkan mata, memusatkan konsentrasi. Mencoba mengetahui apakah bahaya yang mengancam nya, yang membuat debar jantungnya berdenyut tidak normal itu, datang dari dalam belukar yang mengelilingi kuburan tersebut.
Dalam konsentrasinya dia mencoba menangkap suara sehalus apapun yang datang dari dalam belukar itu. Mungkin desah nafas, mungkin dengus, mungkin suara dedaunan yang tergeser oleh tubuh mahluk apapun. Harimau, beruang atau ular sekalipun. Dari pengalaman hidup di puncak Gunung Sago dahulu, dia memiliki kemampuan untuk mendengarkan perbedaan sekecil apapun suara yang ditimbulkan. Antara suara daun yang ditiup angin dengan daun yang terkuak oleh lewatnya mahluk hidup.
Namun meski beberapa kali dia coba memusatkan kosentrasi tetap saja tak satupun sumber suara yang bisa disimpulkan sebagai ancaman. Dia hanya mendengar suara beberapa ekor ayam hutan mengais makanan. Kemudian suara desiran seekor ular, mungkin ular tedung yang besarnya tak melebihi lengannya. Suara bergeraknya ular itu, menurut perkiraannya, ada sekitar dua puluh depa dari tempatnya berdiri. Lagipula arah bergerak ular itu menjauhi tempatnya berdiri, bukan ke arahnya. Jadi samasekali bukan ancaman bagi dirinya.
Dengan pikiran demikian bahwa tak ada sesuatu yang mengancam nya dari dalam belukar lebat disekitar pekuburan kaum itu,dia menatap ke tiga kuburan yang terletak berdampingan itu.
“Ayah,ibu…, ampun kan anakmu yang tidak berguna ini, yang tidak mempunyai keberanian sedikitpun membela kalian, saat kalian diancam maut. Uni..ampunkan adikmu. Doaku semoga berbahagia di akhirat…” bisik nya dengan airmata yang tak mampu di bendung.



@



Tikam Samurai - 379