Engkau akan menjadi tempat aku mengabarkan sakit dan senang, aku tempat engkau mengabarkan sakit dan senang pula. Maukah engkau menjadi isteriku, Michiko-san? “
Michiko menatap si Bungsu, kemudian berdiri. Lalu menghambur ke dalam memeluk lelaki itu. Dia menangis terisak-isak, tenggelam oleh rasa haru dan bahagia yang tak bertepi.
“Hati dan jiwaku milikmu, kekasihku. Milikmu, selamanya-lamanya….!”
Mereka menompang konvoi tentara pusat yang akan berangkat ke Bukittinggi. Di dalam konvoi yang berjumlah belasan truk dan bus itu, selain penompang kalangan sipil terdapat puluhan anak-anak SGKP. Semula ada kekhawatiran diantara penompang akan adanya pencegatan. Tetapi untuk menghilangkan rasa takut dan ketegangan, tentara yang ada di setiap truk menyuruh anak-anak sekolah itu bernyanyi.
Namun lewat Nagari Sicincin mereka pada lelah. Malah ada yang mengantuk. Konvoi itu melaju terus, dengan di depan sekali sebuah jip tentara kemudian dua truk berisi pasukan, ketiganya dibekali dengan senapan mesin, diselang seling bus dan truk berisi anak sekolah dan sipil dan di belakang sekali tiga truk penuh tentara. Sebahagian besar penompang dan tentara masih saling berbicara perlahan tanpa melupakan kewaspadaan.
Lepas dari Kayu Tanam konvoi memperlambat perjalanan karena mulai memasuki areal hutan berbukit di Bukit Tambun Tulang. Tak lama kemduian mereka memasuki kawasan Lembah Anai dengan air terjun yang indah. Sebenarnya saat masih berada di kawasan Bukit Tambun Tulang tiba-tiba saja ada perasaan tak sedap menyelusup ke hati si Bungsu. Matanya menatap ke bukit-bukit batu terjal tatakala memasuki Lembah Anai.
Lalu…tiba-tiba terjadilah tragedi berdarah itu! Dari hutan di bukit-bukit batu curam di kiri kanan lembah itu tiba-tiba saja konvoi disiram tembakan mitraliur. Tidak itu saja, tembakan bazoka melemparkan sebuah truk dan sebuah bus penuh penompang dan tentara ke dalam sungai berbatu. Si Bungsu dan beberapa penompang sipil dan belasan tentara berada di truk yang terlempar itu! Sebagian dari konvoi itu berhenti mendadak. Jip yang berada di depan sekali, yang berada di tempat terbuka mempercepat larinya mencoba berlindung di tikungan.
Namun serentetan tembakan mitraliur membunuh seluruh isi jip itu, sementara jip itu sendiri baru berhenti tatkala menabrak tebing batu di kirinya. Beberapa bus dan truk tersandar ke tebing batu dalam usaha mengelak dari tembakan membabi buta. Tak ayal lagi, konvoi APRI itu masuk perangkap PRRI! Para penumpang berhamburan turun dan menjauhi bus dan truk. Menghindar dari daerah terbuka agar tidak menjadi sasaran peluru. Untuk itu jalan satu-satunya adalah masuk ke hutan terdekat. Hutan di wilayah itu hanya tumbuh di dinding tebing batu yang curam.
Apa boleh buat mereka terpaksa, dan harus, mendaki hutan di tebing terjal itu. Selain menghindari celaka dari sasaran peluru, sekaligus menghindar dari celaka bila truk atau bus meledak. Michiko berada di dalam bus yang tersandar ke dinding batu dan penompangnya terdiri rombongan anak SGKP yang bertemperasan turun menyelamatkan diri itu! Namun malang memang tengah mengikuti mereka. Peluru yang ditembakkan oleh PRRI dari puncak-puncak tebing, yang sebenarnya ditujukan kepada tentara pusat benar-benar “tak bermata”.
Tidak bisa membedakan mana yang tentara mana yang sipil. Mana yang lelaki mana perempuan. Akibatnya belasan anak-anak SGKP dan penompang sipil lainnya tersungkur dihantam peluru begitu mereka berhamburan turun dari bus astau truk. Belasan lainnya bernasib sama, meski mereka sudah berada di dalam hutan di tebing terjal dalam upaya menyelamatkan diri. Salah seorang di antara korban yang kena tembak itu adalah Michiko!
Hutan di bukit cadas Lembah Anai itu sudah ditelan malam yang kental ketika seorang anggota PRRI berpangkat letnan dan lima anggotanya “membersihkan” hutan itu. Dengan dua buah senter mereka memeriksa lekuk dan tonjolan batu yang mereka lewati. Mereka lewat di sana karena daerah itu memang sudah dipersiapkan sebagai jebakan yang mematikan bagi konvoi tentara pusat yang akan lewat di sana.
PRRI memerlukan waktu sekitar beberapa minggu untuk mempersiapkan jebakan tersebut. Setiap bukit, tebing dan pohon dengan seksama mereka pelajari situasinya. Termasuk mempelajari kemana saja jalan mengundurkan diri atau jalan lari bila terjadi hal-hal yang di luar perhitungan. Termasuk bila terjadi serangan balik dari pihak APRI.
Letnan dan empat anggotanya itu sedang berada di pinggang salah satu tebing terjal di Lembah Anai, tatkala mereka mendengar suara rintihan. Setelah lelah mencari dengan cahaya senter dalam kegelapan itu, mereka menemukan di puncak sebuah tonjolan batu sesosok tubuh wanita. Nampaknya dia dengan susah payah memanjat batu tersebut agar tidak dimangsa binatang buas.
“Ini orang asing, Let…” ujar salah seorang yang berpangkat sersan.
Mereka menatap wajah perempuan yang tersandar separoh sadar itu.
“Jepang! Ini…Astaghfirullah,…ini pasti gadis Jepang yang mencari si Bungsu..” ujar yang berpangkat letnan.
Ketiga mereka memperhatikan Michiko dengan perasaan tak percaya. Cerita tentang si Bungsu dan gadis Jepang yang mencarinya itu, sampai si Bungsu mengalami luka di Situjuh Ladang Laweh dan dirawat di Rumah Sakit Tentara di Padang atas pertolongan dua perwira RPKAD, sudah bersebar dari mulut ke mulut.
@
Tikam Samurai - IV