Tikam Samurai - 431

“Jika tak ada kaum kerabatnya di kota ini, kami akan memakamkannya di
pemakaman umum. Biaya nya akan di tanggung….”
“Saya kerabatnya, Dokter…”putus si Bungsu, Dokter itu menatapnya agak heran.
“Anda juga seorang negro?”
“Ya, malah dari kelas yang paling bawah!”Dokter itu kaget dan merasa bersalah
atas pernyataannya tadi.
“Maaf, bukan maksud saya menghina negro. Saya hanya tak melihat anda salah
seorang dari mereka..”
“Berapa saya harus bayar?”
“Untuk sebuah kematian anda tak usah bayar apa-apa. Negara
menanggungnya. Tapi jika anda ingin kerabat anda ini dimakamkan dengan
upacara, Anda harus membayar seratus dolar. Kami akan menyiapkan peti mati
yang baik, karangan bunga, pendeta untuk khutbah dipemakaman dan sekitar
dua puluh orang pengantar dalam pakaian berkabung. Untuk itulah uang yang
seratus dolar itu…”
Si Bungsu merogoh kantongnya, mengeluarkan uang yang diminta. Dia duduk bersandar dan terasa letih sekali. Tongky meninggal! di tembak sehasta darinya! mati dalam pelukannya! Ya Tuhan, mungkinkah? Si Bungsu menunduk, letih dan terpukul sekali.
Inilah wujud fiarasat tak sedap yang menyelinap tatkala dia berwudhu subuh tadi. Firasatnya yang merupakan indera keenam itu memang memberikan isyarat yang kuat. Kenapa dia tidak bisa mencegahnya? bukankah ketika berada dalam lift menuju lantai satu dari kamar mereka tadi dia telah bicara soal firasatnya itu pada Tongky? kenapa dia tak waspada?
“Tentang takdir, Buyung, di permukaan bumi ini, tak seorang pun kuasa mengungkitnya....”Suara ayahnya yang telah almarhum seperti mengiang kembali.
Si Bungsu bersandar di kursi, di gang rumah sakit ke Dallas yang sangat besar itu. Puluhan orang lalu lalang didepannya. Perawat, Dokter, Pasien yang didorong di atas kursi roda maupun brankar, pasien yang melangkah tertatih-tatih dengan tongkat kayu kruk diketiaknya. Hampir semua berseragam putih.
Namun orang yang lalu lalang itu, seperti tak hadir didepannya. Dia seperti tak ada di sana, tubuhnya memang bersandar disalah satu di rumah sakit itu tapi pikiranya entah dimana. Baru dua hari di kota rimba ini, sudah disambut dengan sangat tak ramah. Hari-hari pertamanya dikota ini adalah hari yang luar biasa kerasnya.
“Tuan saya ingin minta sedikit keterangan….” lamunan si Bungsu terputus.
Sebenarnya orang yang menegurnya itu sudah dari tadi disana, dan sudah dua kali dia ngomong tapi tak terdengar oleh si Bungsu. Dengan lesu dia menoleh dan melihat dua orang polisi tegak didepannya.
“Oh,maaf…”katanya sambil memperbaiki duduk.Polisi itu menarik nafas,memperlihatkan sebuah koran.
“Ini negro yang bersama anda itu?” Si Bungsu tak menjawab pertanyaan itu, justru dia menatap polisi yang bertanya tersebut. Ada sesuatu yang ganjil dalam pertanyaan polisi itu yaitu saat dia menyebut kata ’negro’ ada semacam nada ketidaksukaan dalam ucapanya. Semacam kebencian rasis!
“Tuan saya bertanya, apakah negro yang mati tadi adalah yang ada dalam foto ini?”si Bungsu tak menjawab, matanya masih menatap polisi itu. Si polisi yang pertanyaannya tak dijawab, menoleh kepada polisi yang satunya lagi.
“Barangkali dia pekak, atau tak mengerti bahasa Ingris..”katanya.
Yang satu lagi maju, dan tanpa ba atau bu dia segera menggeledah kantong si Bungsu. Nampaknya mencari sesuatu, si Bungsu tidak sedikitpun memberikan reaksi. Polisi itu merenjeng tangan si Bungsu hingga tertegak, kemudian merogoh kantong celananya Di kantong celana belakang, dia mendapatkan apa yang dia cari, paspor!
membalik-balikan halamannya, lalu menatap pada si Bungsu”Indonesian..” desisnya. Si Bungsu hanya diam. Polisi kembali memperlihatkan wajah Tongky yang terpampang di koran.
“Temanmu?’tanyanya dalam bahasa Ingris yang kasar. Si Bungsu mengangguk dan polisi itu menggerutu dan mengomel panjang pendek.dan mencatat sesuatu dalam notesnya.
“Nah bung, kalau kau mengerti bahasa kami, dengarkanlah baik-baik. Begitu teman mu dikubur, maka sebaiknya segera kau tinggal kota ini. Kota ini dan kami semua tak suka pada bau orang-orang kulit berwarna seperti kalian. Sebaiknya anda angkat kaki sebelum teman mu dikuburkan,yang mati tak perlu direnungi…”dan polisi Dallas bertubuh besar itu masih mengomel panjang pendek sambil mencatat-catat dalam notesnya.
Kemudian menyerahkan paspor si Bungsu yang tadi dia ambil. Perlahan si Bungsu duduk kembali kekursinya. Kedua polisi itu pergi. Namun si Bungsu segera melihat polisi itu justru menuju ruang mayat. Ke tempat dimana tadi jenazah Tongky didorong. Dia segera bangkit dan mengikuti kedua polisi itu. Di ujung sana, si polisi berbicara dengan seorang dokter wanita.
Dokter itu membawa kedua polisi itu keruang mayat, si Bungsu mengikuti dari belakang, begitu masuk ruangan itu, udara terasa sangat dingin, dingin sekali. Ada beberapa ruangan lagi, mereka melewatinya, kemudian masuk ke pintu yang mirip pintu gudang yang dikunci dan tertutup rapat sekali. Begitu masuk si Bungsu merasa bergidik, tertegak dan tertanganga. Ruangan itu sebuah ruangan yang besar, ada empat tidur yang bertingkat-tingkat yang bisa di turun naikan dengan listrik.



@



Tikam Samurai - 431