Tikam Samurai - 432

Dan ditiap tingkat itu terbaring mayat-mayat! di bahagian tengah ada gantungan yang mirip gantungan baju. Terbungkus dalam plastik, dan di dalamnya terdapat mayat, bukan baju! Ya, mayat-mayat yang di gantung berderet puluhan jumlahnya. Utuh dalam keadaan telanjang dan kaku, digantungkan dengan menjepit kepalanya dengan semacam jepitan besi.
“Di bahagian kanan..”kata dokter yang tadi mengantar kedua polisi itu.
Suara dokter itu menyadarkan si Bungsu, dia segera melangkah mengikuti ketiga orang itu. Di bahagian yang lain, ruang yang di penuhi peti-peti mati, udaranya tak sedingin ruangan yang tadi mereka lewati. Ruangan ini nampaknya bahagian ruang mayat yang akan di kebumikan. Mayat-mayat yang dibuatkan peti mati oleh sanak saudaranya, sedangkan mayat-mayat sebelumnya adalah mayat-mayat tak di kenal. Yang barangkali diperlukan untuk penelitian ilmiah.
Jumlahnya yang mungkin lebih dari seratusan menunjukan angka kematian yang tinggi dikota berpenduduk sekitar tujuh juta jiwa itu. Tiap hari ada saja yang mati, baik oleh kecelakaan lalu lintas, bunuh diri, perkelahian, sampai korban pembunuhan, perampokan, dan sejenisnya.
Mayat yang tak dikenal yang rusak, bahagian-bahagian penting tubuhnya yang penting. Seperti ginjal, jantung, hati atau mata diambil, sisanya dikuburkan.
Sementara yang utuh yang tidak ada keluarga mengambil atau mayat-mayat yang tak dikenal sanak kerabatnya, disimpan seperti yang dilihat si Bungsu tadi.
“Mana mayatnya?”polisi tadi bertanya.
Seorang petugas yang tengah menyiapkan peti mati dengan alas kain satin yang indah berwarna merah jambu, menunjuk kesebuah altar. Di sana mayat Tongky terlihat tergeletak. Di meja-meja yang lain ada sekitar delapan atau sembilan mayat yang masuk lebih belakangan dari mayat Tongky menungg peti dalam ruangan itu ada delapan orang pekerja, mereka memasukan mayat-mayat kepeti yang sudah tersedia.
Mereka menyiapkan mayat dengan pakaian yang sudah di pesan sesuai permintaan keluarga. Ada yang memakai jas, dasi dan sepatu. Kedua polisi itu berjalan kearah mayat Tongky. Yang seorang mengambil fotonya, kemudian yang seoarang lagi memeriksa kantong Tongky. Membalikan mayat itu dengan kasar, memeriksa kantong celananya, mengambil paspor dan mencatat nomornya, dan mengambil jam tangan dan dompet.
“Apakah jam tangan dan dompet itu anda perlukan untuk Bukti?” tiba-tiba ada suara. Mereka menoleh dan dengan heran menampak si ’Indonesian’ tadi tegak tidak jauh dari mereka dan amat fasih berbahasa Inggris. Polisi itu tak mengacuhkan, memasukan jam Rolex itu ke kantongnya berikut dompet berisi uang yang cukup banyak.
“Tuan saya bertanya, apakah kedua benda itu anda perlukan untuk bukti?”
“Jahanam menyingkir dari sini atau kuremukan mulutmu…”polisi bertubuh besar yang tadi menenteng tubuh si Bungsu hingga tertegak dikursinya menyumpah.
Namun si Indonesia itu ternyata tak menyingkir, Dia malah mendekat dengan pandangan mata yang menusuk dingin.
“Jika tuan memerlukan benda-benda itu, tuan harus membuat tanda terimanya…”
“Jahanam kami tak perlu membuat tanda terima apaun dengan hewan hitam seperti kalian…”Sepi tiba-tiba, anak muda itu melangkah makin mendekat pada polisi itu.
“Berikan pada saya tanda terima atas kedua benda yang anda kantongi itu..” katanya perlahan. Habis sudah kesabaran polisi bertubuh besar itu, dia mencekal leher leher si Bungsu. Kemudian tangan kirinya menempelang. Namun si Indonesian itu juga sudah habis sabarnya, dia muak perlakuan polisi rasis itu.
Begitu tangan polisi besar itu terayun, dia mengangkat lututnya, menghantam dengan keras selangkangan polisi itu, mata polisi itu mendelik, mulutnya mengatup dengan kuat, tubuhnya menggigil, dia tidak lagi mencengkram baju si Bungsu, meski tangannya masih disana, lebih tepatnya bergantung kebaju si Indonesian tersebut.
Dia bergantung disana agar tak terjatuh kelantai, hantaman lutut itu benar-benar menghancurkan benda diselangkangannya. Temannya yang satu lagi masih sibuk memotret-motret dengan kamera kunonya. Si Bungsu merogoh kantong polisi itu, mengambil barang Tongky tadi dan memasukannya kekantong dia sendiri. Dan waktu itulah baru disadari polisi yang memotret itu kalau ada sesuatu yang tak beres dengan temanya yang dahinya berkerinyut itu.
“Hei George, ada apa…?”Polisi itu menggeleng, matanya berair, dia ingin meraih pistolnya. Namun setiap anggota tubuhnya digerakan terasa ngilu, kawannya mendekat. Polisi yang dipanggil George itu mendesis.
“Jahanam itu menghantam selangkang ku…”
Polisi yang bertustel itu sadar apa yang terjadi. Tustel dia letakan dan segera dia merenggut tangan si Bungsu. Namun tangan yang bermaksud merenggut itu di cekal si Bungsu. Dan…Ketika renggutan itu membuat tubuh polisi itu doyong sedikit, kakinya dia sapukan dengan sebuah sapuan silat yang telak. Tak pelak polisi itu terjatuh dengan hidung menghantam ubin! prakkk! Beberapa detik dia tertelungkup.
Ketika mencoba bangkit, kepalanya pusing tujuh keliling, darah mengucur dengan deras dari hidungnya yang remuk! si Bungsu tegak dengan diam dua depa dari mereka, menatap petugas itu dengan tenang.



@



Tikam Samurai - 432