Tikam Samurai - 17

Namun di belantara Gunung Sago, anak muda yang mereka sangka telah mampus dan mayatnya dikunyah anjing atau biawak atau harimau itu, yang mereka sangka tak mungkin mau berbuat baik meski sebesar zarahpun, saat itu tengah duduk bersila. Dia duduk bersila di atas sebuah batu layah di pinggang gunung yang tak pernah dijejak kaki manusia. Dari sana dia dapat melihat ke bawah, ke kampungnya. Dia melihat kerlip lampu seperti seribu kunang-kunang yang sedang bermain. Rindunya membakar hati. Namun kalau dia pulang, siapa yang akan dia temui di sana? Tak seorangpun.
Ketiga keluarganya telah mati. Memang ada seseorang yang sangat ingin dia temui. Namun dia yakin orang itu takkan bersedia dia temui. Renobulan. Masih hidupkah dia? Dia yakin anak Datuk Maruhun itu masih hidup. Sebab dia gadis yang cantik. Dan perempuan-perempuan cantik biasanya punya umur panjang. Kecuali kakak perempuannya yang diperkosa dan melawan, dan dibunuh oleh Saburo Matsuyama.
Saburo! Tiba-tiba dia tertegun. Dendamnya menyala. Dia kembali menatap ke kerlip lampu di bawah sana. Ada beberapa kampung yang nampaknya berdekatan dari kaki gunung ini. Padahal jika ditempuh jaraknya cukup berjauhan. Dia hafal kampung-kampung di lembah sana. Sebab dahulu dia telah mendatangi semua kampung itu. Di kampung-kampung itu telah mengadu nasib. Berjudi. Dan semua penduduk kampung-kampung itu mengenalnya sebagai hantu judi. Tak ada yang tak mengenalnya. Karena dia lebih sering menang dalam perjudian daripada kalah.
Dan bila dia menang, dia selalu memberi anak-anak uang belanja. Anak-anak menyukainya. Hanya orang tua mereka yang tak menyukai dia. Dia tersenyum bila mengingat kemenangannya dalam berjudi. Tiba-tiba dia rasakan angin bertiup agak kencang. Dan dia memang tengah menanti angin yang bertiup itu. Tiap senja dia nantikan angin itu di atas batu layah ini. Sudah berbilang bulan dia begini. Dan berbilang bulan dia melatih diri.
Dia memejamkan mata. Tangannya melemas. Lemas selemas lemasnya. Tes. , tes . . tes . . ! Dia dengar detisan halus di atas. Dia hitung. Ada sebelas. Suara itu adalah suara daun kayu yang telah tua, yang habis getah ditampuknya. Bila angin bertiup sore hari, daun-daun tua itu lepas dari ranting, melayang dan jatuh. Berarti ada sebelas daun kering yang jatuh di sekitar dirinya.
Tiba-tiba tangannya yang lemas tadi bergerak ke balik kain sarung yang tersandang di bahunya. Dan saat berikutnya terlihat sebuah kilatan yang terlalu cepat untuk diikuti oleh pandangan mata. Tak sampai empat hitungan. Benda berkilat itu, yang tak lain dari samurai yang telah menyudahi nyawa ketiga keluarganya itu, dia sarungkan kembali. Dan dengan perasaannya yang sudah amat terlatih, dia mengetahui bahwa dari sebelas daun kayu yang jatuh di sekitarnya, ada tiga lembar yang luput dari sabetan samurainya. Yang delapan lembar lagi belah dua persis tentang tulang di tengah daun-daun itu!.
Dia menarik nafas panjang. Kemudian duduk lagi bersemedi. Duduk mengatur pernafasan. Dia tak punya guru. Gurunya adalah Alam Takambang. Dia tak mengerti ilmu silat. Sampai detik inipun dia tak mengetahui selangkahpun tentang persilatan. Namun hatinya telah jadi baja untuk membalas dendam kematian ayah, ibu dan kakaknya. Dia juga akan menuntut balas atas kematian orang kampungnya. Atas perbuatan Jepang membakar kampungnya. Memperkosa kakaknya dan perempuan-perempuan lain. Dan atas perlakuan Jepang yang telah membunuh kanak-kanak di kampungnya dulu. Dia akan menuntut balas pada Jepang dengan mempergunakan senjata mereka sendiri, Samurai!
Sudah berbilang bulan dia berada di gunung ini. Dan selama itu pula dia melatih diri. Yang terbayang olehnya adalah gerakan ayahnya ketika mengayun, dan menikamkan samurai ke belakang. Yang menyebabkan matinya dua orang serdadu Jepang sekaligus dalam perkelahian di halaman rumahnya dulu. Gerakan itu dia ulangi terus. Terus dan terus. Sementara gerakan bagaimana mencabut samurai dia pelajari dari perkelahian antara teman-teman Datuk Maruhun di sasaran rahasia itu dengan tentara Jepang tersebut.
Dia mengingat gerakan Jepang itu mencabut kemudian mengayun samurai. Kemudian memasukkannya kembali samurai telanjang dan berlumur darah itu ke sarungnya. Gerakan yang amat cepat untuk bisa ditiru. Namun dia mengeraskan hati untuk belajar. Mula-mula gerakan itu hanya dia lakukan beberapa kali sehari. Kemudian beberapa belas kali. Kemudian beberapa puluh kali. Kemudian beberapa ratus kali.
Tiap hari kerjanya hanya mencabut samurai. Kemudian memasukkannnya kembali. Lalu ketika gerakan itu dia rasa sudah mahir, dia menirukan gerakan menghayunkan samurai membabat lawan yang ada di depan dengan gerakan amat cepat. Kemudian meniru gerakan ayahnya. Setelah membabat lawan di depan, tanpa menukar pegangan kedua tangan di gagang samurai, senjata itu dihentakkan meninggi ke belakang. Gerakan ini semula terasa sulit dan kaku. Namun dia harus belajar. Harus! Yang menyulitkannya adalah karena dia tak mengetahui gerak dasar samurai itu. Tak pula mengetahui kuda-kuda yang harus dipakai. Itulah sebabnya dia lambat sekali menjadi mahir.
Dan kinipun, setelah dia mahir dalam gerakan itu, kuda-kudanya tetap tak betul menurut methode ilmu samurai. Kuda-kuda dan langkah kakinya dia buat menurut kehendak seleranya saja. Bagaimana yang dia rasa paling baik untuk menyerang dan menangkis, serta merubuhkan lawan segera. Dia tetap berlatih hari demi hari. Siang hari dia berburu kijang di gunung itu. Caranya mudah sekali. Selama hidup hampir setahun di rimba raya itu, dia sudah hafal di mana kijang-kijang itu minum siang hari. Dia juga tahu dari mana harus mendekati binatang itu. Dia harus tegak di bawah angin. Agar bau tubuhnya tak tercium oleh hewan itu.



@



Tikam Samurai - 17