Sebab Kopral yang memakai sten ini berdiri. Dan sebahagian badanya ke atas terbuka pula melewati batas kaca power yang terbuka itu. Samurai si Bungsu meluncur seperti anak panah. Dan menancap dibawah belikat kiri Kopral itu!
Namun stennya meledak juga. Hanya yang kena bukanlah Bilal, tapi nyasar entah kemana. Tubuh kopral itu terjungkal dan mati.
Di bahagian belakang truk itu, ketiga pejuang tersebut telah membunuh dua serdadu Belanda. Berarti dengan yang dibunuh si Bungsu dan Bilal, ditambah dengan sopir power itu, mereka telah berhasil membunuh tujuh orang belanda tanpa sebutir pelurupun.
Dua orang lagi berhasil turun melompat dari truk. Mereka memburu ke depan. Dan didepan truk mereka menemui si Bungsu tanpa senjata.
“Anjing! Mati kowe!” bentak mereka sambil serentak menembak. Nyawa si Bungsu diujung tanduk. Dia tak bersamurai. Dan itu sama dengan bertelanjang. Satu-satunya harapan baginya adalah gerak “lompat tupai”!!
Dia bergulingan. Namun terlambat! Serentetaan tembakan sten menghajar tubuhnya. Dia jatuh bergulingan ke tanah. Tapi bukan dengan jurus lompat tupai itu. Dia bergulingan karena dihantam peluru!
“Mati kowe!” kedua Belanda itu serentak berseru dan menembak lagi. Namun tembakannya terdengar kalah keras dengan tembakan yang tiba-tiba datang dari puncak pendakian!
Serentetan tembakan mitraliyur terdengar merobek rimba di Pasir Putih itu. Dan kedua tentara Belanda itu seperti dilanda Badai. Terdongak-dongak. Terpental-pental!
Di puncak pendakian berdiri Suman dengan 12,7 ditangannya! Dengan demikian sepuluh orang Belanda telah mati. Sisanya yang tiga orang tiba-tiba mengangkat tangan.
“Maaf, eh ampun tuan. Kami menyerah” seorang KNIL berkata dadalam bahasa Indonesia. Sementara dua tentara Belanda aslinya lainnya tegak dengan menggigil.
Namun dari puncak pendakian 12,7 si Suman tak memberi keampunan. Mitraliyur menyalak lagi. Dan ketiga Belanda yang menyerah itu terpental-pental. Menjerit dan rubuh.
“Suman!!” Bilal berteriak.
Namun teriakannya percuma. Mitraliyur ditangan Suman menyalak lagi.
Menyikat ketiga tubuh tentara Belanda itu. Dia baru berhenti ketika merasa puas.
Kemudian mencampakkan 12,7 nya lalu berlari bersama yang lain ke tubuh si Bungsu.
Tiga peluru menghajar bahu, lengan dan perutnya. Nafasnya memburu. Darah membasahi tubuhnya.
“Bungsu…” teriak Suman tertahan.
Anak muda itu membuka mata. Merasakan linu dan sakit yang bukan main ditiga bahagian tubuhnya.
“Bagaimana yang lain?” tanyanya perlahan sekali.
“Kami selamat semua Bungsu….” Bilal menjawab.
Si Bungsu menelan ludah. Bibirnya pucat dan retak-retak.
“Kulihat Maarif kena tembak…” Si Bungsu menyanggah keterangan Bilal. Mereka jadi tertunduk.
“Bagaimana dia…?”
“Ya, dia meninggal…” Bilal berkata perlahan.
Si Bungsu menatap keliling. Menatap teman-temanya itu. Dia melihat wajah pejuang-pejuang yang tangguh. Yang rela berkorban untuk Negaranya. Dan tiba-tiba dia jadi terharu. Terharu karena tak bisa membantu mereka lebih banyak.
“Saya bangga, kalian pejuang yang militan. Sayang saya harus pergi jauh….sampai disini janjian saya…” katanya. Dan air mata meleleh disudut matanya.
Suman, Bilal dan seorang pejuang dari Marpuyan lainnya, yang bernama Liyas terdiam.
“Mari kita terus ke Buluh Cina….” Bilal berkata sambil mengangkat tubuh si Bungsu. Namun anak muda ini menggeleng.
“Pak…barangkali nyawa saya tak bisa bertahan ke kampung bapak. Jangan potong dulu pembicaraan saya. Kalau saya mati, ambil cincin ini, kirimkanlah ke Bukittinggi. Pada seorang gadis bernama Salma, katakan saya telah mati….hanya dia tempat saya berkabar berita. Tak ada yang lain. Semua keluarga saya telah punah. Dialah yang telah mengobati saya dari sakit, dari resah dan rindu..”
Dia terhenti. Nafasnya memburu. Dan dari mulutnya darah mengalir. Nampaknya dia memang tak lagi bisa tertolong. Ada bahagian dalam dari tubuhnya yang terkena parah. Hingga darah tak saja keluar lewat luka, tapi juga keluar lewat mulut.
“Saya sedih…karena dendam keluarga saya belum saya balaskan….sebelum saya mati!
“Saya rasa Liyas harus pulang ke Marpuyan. Pulang segera dengan jalan kaki. Sampaikan pada penduduk untuk siang ini juga menghilangkan jejak kedua mobil ini. Jangan ada Belanda yang tahu,m bahwa kedua kendaraan ini telah kemari. Kalau mereka tahu, maka penduduk Marpuyan dan Buluh Cina akan mereka bunuh semua.
Pulanglah, dan hilangkan jejak mobil ini. Mungkin dihapus dengan menyapu pakai daun kelapa, atau dengan cangkul. Pokonya tak ada jejak dari Marpuyan sampai kemari.
@
I. Tikam Samurai