Kalau Belanda datang bertanya ke Marpuyan katakan saja bahwa setelah mereka menurunkan gadis dan ibunya itu, mereka meneruskan perjalanan ke Taratak Buluh. Mungkin terus ke Teluk Kuantan. Katakan saja begitu….dan mayat-mayat yang ada ini, termasuk kendaraannya, menjadi tanggungjawab Suman dan Bilal untuk menghilangkannya..”
Dia terhenti lagi. Ketika akan bicara, dia muntah darah. Dan jatuh terkulai. Dengan terkejut Bilal mendengarkan detak dadanya. Kemudian membuka matanya yang terpejam. Teman-teman menanti dengan tegang.
“Dia masih bernyawa. Kita harus menyelamatkan nyawanya. Sekarang tugas kita bagi. Liyas pulanglah ke Marpuyan. Turutkan petunjuk si Bungsu tadi. Saya akan memakai jeep itu, semua senajata akan saya bawa ke Buluh Cina bersama si Bungsu. Jeep ini akan saya benamkan dalam batang Kampar.
Tugas Suman adalah menghilangkan mayat dan truk ini. Kemudian menyusul saya dengan berjalan kaki ke Buluh Cina. Semua senjata akan kita bagi di Buluh Cina nanti….” Dan tanpa menunggu jawab, Bilal segera saja memangku tubuh anak muda itu ke atas jeep di puncak pendakian.
Kemudian dibantu kedua temannya mereka manikkan semua bedil yang dibawa Belanda itu ke atas jeep. Maya Bidin maarif juga, sebab mayat itu harus dikubur baik-baik.
Jeep itu segera saja dilarikan oleh Bilal. Jalannya tak menentu. Dia memang pernah membawa truk dahulu, tapi sekarang karena sudah terlalu lama, maka jalannya melompat-lompat.
Mereka menatap jeep itu menghilang ditikungan diantara belantara di jalan kecil itu.
“Kau pulanglah ke Marpuyan Liyas…” Suman berkata.
“Ya, saya akan pergi. Merdekaa!!”
“Merdekaa!!”
Liyas kemudian bergegas kembali ke arah darimana mereka tadi datang. Suman yang tinggal sendirian lalu menaikkan masyat-mayat Belanda itu ke atas power wagon itu.
Kemudian membersihkan bekas-bekas perkelahian disana. Setelah itu dia menarik nafas panjang. Nah, kini tugasnya adalah membawa power itu sejauh mungkin dari jalan raya. Dia memandang sekeliling. Dia kenal sangat dengan daerah ini. Sebab dia juga adalah penduduk kampung Buluh Cina.
Dahulu sebelum masuknya tentara Jepang, dia setiap pagi mengayuh sepeda dengan keranjang penuh ikan diboncengan belakang. Dia mengenal daerah ini seperti dia mengenal bahagian dari rumahnya.
Ketika Jepang masuk, dia bergabung dengan Kapten Nurdin di Pekanbaru. Masuk anggota fisabilillah dan berjuang melawan fasis Jepang. Kemudian kini berganti lawan dengan Belanda.
Dia adalah bekas sopir ketika mula-mula Jepang masuk. Karena itu dengan mudah dia membawa power wagon itu. Dia mendaki terus. Membawa truk loreng-loreng dari Perang Dunia ke II di Pasifik itu ke daerah yang bernama Kelok Petai.
Disini dia membelokkan truk itu kedalam semak belukar. Dia tahu daerah ini tanahnya datar. Sebab hanya ditumbuhi oleh Padang Lalang. Truknya dijalankan terus. Tak ada jalan sama sekali. Dia masuk menyeruak semak belukar hutan ilalang setinggi rumah.
Dengan terseok-seok dia meneruskan perjalanannya. Dan setelah setengah jam, akhirnya dia sampai ke sebuah sungai. Sungai ini tak begitu besar. Hanya selebar tiga meter dan dalamnya sekitar dua atau tiga meter pula.
Sungai ini merupakan bahagian hilir dari sungai kecil yang melintasi jalan di pendakian Pasir Putih tadi. Dan kedalam sungai kecil ditengah belantara ilalang inilah dia membuangkan mayat-mayat Belanda itu.
Dia tahu dengan persis, bahwa dari sini sungai tersebut tak lagi akan melintasi jalan raya atau jalan kecil. Sungai ini menuju tengah hutan belantara yang belum pernah dijejak kaki manusia. Dan puluhan kilometer dari tempatnya sekarang sungai ini akan bermuara di Batang Kampar. Yaitu jauh dihilir kampung yang bernama Langgam. Dan dengan demikian, bangkai Belanda ini takkan pernah bertemu dengan manusia.
Sebab sebelum mencapai sungai Kampar, mayat ini mungkin telah hancur. Dimakan ikan dan cacing disepanjang sungai dalam rimba tersebut. Atau kalaupun dia mencapai muara, maka mayat ini akan menjadi santapan buaya-buaya besar yang sarangnya memang dimuara sungai ini di Batang Kampar sana.
Nah, dengan mengusap peluh, akhirnya mayat-mayat dari jeep dan dua belas mayat dari power itu masuk ke sungai! Kemudian dia meninggalkan truk itu tegak begitu saja ditepi sungai dibawah pohon yang sangat rimbun.
Sepanjang jalan menuju keluar, dia membetulkan kembali letak rumput dan ilalang yang tadi dilindas truk itu. Setibanya di jalan, tugas itu juga dia laksanakan. Nah, kini selesailah bahagian tugasnya.
Dia yakin, Belanda takkan pernah menemukan jejak lenyapnya keenam belas serdadunya ini. Dan dalam sejarah perjuangan menegakkan Kemerdekaan di Riau, Belanda memang dibuat kalang kabut oleh lenyapnya secara misterius serdadu dengan persenjataan mereka itu.
Dan sampai penyerahan kedaulatan secara penuh, misteri itu tetap lenyap tak berbekas.
@
I. Tikam Samurai