Tikam Samurai - 155

Hari itu adalah hari jumat. Yaitu setiap Jumat dimana pedagang-pedagang bersampan dan berkapal kecil-kecil singgah dalam perjalanan mereka menuju Teratak Buluh dihulu dari Langgam di hilir.
Penduduk kampung berdekatan seperti Bontu diseberang agak ke hilir, dan penduduk dari kampung Kutik diseberang agak ke darat sudah berdatangan. Hari sekitar jam sepuluh pagi ketika tiba-tiba dari hulu terlihat orang berlarian.
“Belanda! Tentara Belanda datang!” pekiknya. Suasana ditengah pasar itu mula-mula terbengong-benging saja. Tapi begitu tembakan pertama terdengar, suasana panik segara menjalar. Penduduk berlarian bertemperasan. Pedagang-pedagang berusaha menyelamatkan jualannya.
Mereka berteriak meminta uang pada pembeli yang begitu panik menjalar segera saja angkat kaki. Lupa membayar barang yang telah dia ambil.
Namun penduduk yang berlarian itu tak lama kemudian  kembali lagi ke pasar darurat tersebut. Mereka dihalau kesana oleh tentara Belanda yang rupanya telah mengepung kampung itu dari hulu dan dari hilir.
Tentara yang datang tak berapa orang. Hanya enam orang. Tapi enam orang tentara Belanda dengan senjata lengkap memang sudah cukup membuat penduduk jadi terkencing-kencing.
“Ayo kumpul semua!” bentakan terdengar dari mulut seorang Leutenant. Dan kembali serentetan tembakan dari sten menyalak.
Anak-anak pada bertangisan. Perempuan pada terpekik dan mereka digiring ke lapangan kecil dimana tadi seorang pedagang berjual obat.
Kaum lelaki dan perempuan segera saja dipisahkan. Ada sekitar tiga puluh orang lelaki yang terjaring. Mereka semua disuruh duduk berjongkok di tanah.
“Periksa!” Leutenant itu memberi perintah. Dan tiga orang serdadu yang terdiri dari seorang sersan, seorangh kopral dan seorang soldaat segera menghampiri para lelaki yang duduk mencangkung itu.
“Bagaimana, kita lawan mereka?” si Bungsu yang terdapat diantara para lelaki itu berbisik pada Bilal yang dudukdisebelahnya.
“Tunggu dulu. Nampaknya mereka bukan mencari kita” Bilal menjawab. Dan karenanya si Bungsu hanya diam menanti. Hari itu adalah bulan ketiga dia berada di kampung Buluh Cina ini semenjak peristiwa penyergapan di pendakian Pasir putih itu.
Tiga peluru yang menghajar tubuhnya, ternyata tak cukup kuat untuk merenggut nyawanya. Atau katakanlah, bahwa Bilal telah menolong nyawanya dari renggutan maut. Lelaki itu melarikan tubuh si Bungsu yang luka parah di Buluh Cina. Kemudian di kampung itu si Bungsu ditolong dengan obat-obatan kampung.
Lukanya diobat dengan berbagai ramuan. Diantaranya dengan bubuk yang dibuat dari kikisan tempurung kelapa. Pedih dan sakitnya bukan main.
Namun Tuhan masih memanjangkan umurnya. Buktinya dia berangsur sembuh. Sementara itu senjata yang berhasil mereka rampas dari Belanda-Belanda di pendakian Pasir Putih telah dikirim ke Pekanbaru. Kepada anggota-anggota fisabilillah dan tentara Indonesia.
Dan di kampung ini hanya ada dua pucuk bedil. Satu pada Bilal, yaitu sebuah sten, kemudian sebuah lagi pada Badu. Yaitu sebuah jungle. Namun keini kedua bedil itu berada dirumah mereka. Dan kini Bilal, Badu dan si Bungsu terperangkap di Pasar Jumat tersebut.
Dengan perasaan tegang mereka menanti ketiga serdadu Belanda itu menggeledah mereka. Satu demi satu mereka diperiksa. Diraba pinggang celana dan kantong-kantong mereka.
“Apa yang mereka cari?” si Bungsu berbisik.
“Entahlah…!” jawab Bilal perlahan.
Dan akhirnya penggeledahan itu selesai. Tak seorangpun nampaknya yang dicari oleh tentara Belanda tersebut. Si Bungsu menarik nafas panjang.
Ketiga serdadu yang memeriksa itu berjalan ketempat Leutenat yang memimpin mereka. Melaporkan hasil pemeriksaan. Namun mata Leutenat itu menatap tepat-tepat pada Bilal. Bilal yang tahu bahwa dia sedang diperhatikan mencoba untuk tak acuh. Mencoba menatap ke bawah.
Si Bungsu juga melihat kelainan tatapan mata Leutenant tersebut. Dan tiba-tiba saja Leutenant itu melangkah mendekati mereka.
“Dia kemari…!” si Bungsu berbisik.
“Ya, mau apa dia?” balas Bilal sambil menoleh ke tempat lain acuh tak acuh. Padahal hatinya berdebar keras.
“Apakah bapak dia kenali?” Bungsu bertanya.
“Saya tak tahu….” Jawab Bilal.
Pembicaraan itu terhenti takkala tiba-tiba saja tangan Leutenant itu menjambak rambut Bilal. Menyentakkan ke atas sehingga kepalanya tertengadah.
Hampir saja Bilal menghantam kerampang Leutenant itu dengan lutut karena berangnya. Tapi untung dia dapat menahan emosi. Dia sadar, akalu berbuat yang tidak-tidak, banyak penduduk yang akan jadi korban sia-sia. Dia menahan amarahnya sambil mengikuti sentakan pada rambutnya hingga dia berdiri.



@



Tikam Samurai - 155