Tikam Samurai - 154

Sebab, kalau saja Mayor itu meneruskan langkahnya agak dua puluh meter lagi kepertengahan pendakian dari sungai kecil dimana dia mencuci muka dan minum, maka dia pasti akan menemukan jejak pertempuran kemaren yang terkikis oleh hujan, dan tak terlenyapkan oleh penduduk Kutik.
Jejak itu berupa lobang-lobang bekas terkaman peluru 12,7 yang dimuntahkan oleh Suman! Di pertengahan pendakian itu ada lebih dari selusin jejak peluru. Kemaren memang ditimbun baik oleh Suman maupun penduduk Kutik. Tapi hujan yang turun malam tadi membuat timbunanitu melorot ke dalam. Dan jejak itu justru muncul lagi. Tapi untunglah, Tuhan masih melindungi mereka semua!
Dan sebelum petang datang, pasukan Belanda itu cepat-cepat menuju ke markas kembali. Mereka memang tak berani berada didaerah Republik itu dimalam hari meski dengan kekuatan persenjataan yang tak tanggung-tanggung.
Mereka hanya berani berpatroli disiang hari. Dan begitu malam akan turun mereka cepat-cepat menarik diri ke markas.
Besoknya pencarian dilanjutkan lagi. Namun jejak yang mereka cari semakin lenyap. Dan akhirnya pencaharian itu dihentikan sama sekali. Sebab setelah itu, Belanda disibukkan oleh peperangan-peperangan dengan tentara Indonesia.
--o0o---
Di Buluh Cina.
Rumah-rumah kampung itu semuanya adalah rumah panggung dengan tiang-tiang tingg. Kampung itu terletak di seberang sungai Kampar, kalau datang dari arah Pekanbaru. Sungai itu senantiasa menghanyutkan airnya yang berwarna jernih ke hilir.
Hanya ada sekitar seratus rumah di kampung itu. Memanjang ditepian sungai Kampar dari Barat ke Timur. Di bagian tengah kampung ada sebuah mesjid. Di bagian agak ke hulu ada pandam pekuburan kampung.
Kampung dipenuhi oleh rumpun kelapa. Di bawah bayang-bayang dau kelapa ini rumah-rumah penduduk didirikan. Rumah dibuat tinggi dari tanah dengan dua maksud. Pertama menghindarkan banjir dari sungai Kampar yang selalu datang melanda. Kedua menghindarkan diri dari serangan harimau yang sering mengganas di kampung itu.
Mata pencaharian penduduk tak ada yang tetap. Itu bukan berarti disana banyak sekali mata pencahariannya. Tidak. Sumber kehidupan mereka hanya tigal hal. Satu karet, kedua ikan dan ketiga berladang.
Karet dan ikan merupakan mata pencaharian yang agak tetap. Sementara hasil ladang hanya vukup untuk keperluan anak beranank. Mereka masih menerapkan sistim berladang kaum Nomaden. Hari ini berladang disuatu tempat yang subur. Kalau akan membuka ladang, terlebih dahulu harus menebas hutan belantara. Kemudian dibiarkan kering. Lalu dibakar. Dan setelah itu bekas bakar dibersihkan ala kadarnya.
Kemudian langsung ditanami jagung dan padi. Selama proses ini tak kenal penggunaan cangkul atau alat-alat pertanian lainnya. Untuk menanam padi atau jagung lobang dibuat dengan menghujamkan tugak, yaitu sepotong kayu sebesar lengan yang diruncingkan ujungnya kebawah dan dihentakkan ke tanah. Ke lobang itu benih jagung atau padi dimasukkan.
Dan hanya proses waktu dan alam saja yang mereka tunggu selanjutnya untuk menumbuhkan, membesarkan dan membuat padi dan jagung itu panen. Tapi begitu panen sudah dipetik, maka ladang itu mereka tinggalkan. Tahun depan mereka merambah hutan yang lain pula untuk berladang. Begitu terus.
Ini menyebabkan mereka tak pernah mempunyai ladang yang tetap. Tak pernah berladang dimana tumbuh tanaman keras. Mereka pindah terus dari satu hutan ke hutan lain untuk berladang meski ladang terdahulu tanahnya masih tetap subur untuk beberapa tahun lagi.
Kebun karet mereka umunya tak terurus. Ditumbuhi semak belukar dan dijalari rotan. Bahagian yang baik hanyalah sedikit disekitar pohon yang akan ditakik saja. Tak heran kalau kebun karet yang mereka sebut dengan kebun para itu menjadi sarang harimau. Dan tak heran pula banyak penakik-penakik getah itu menjadi mangsa raja hutan tersebut.
Mata pencaharian yang ketiga adalah ikan. Mereka menangkapi ikan di sepanjang batang Kampar atau didua danau kecil yang terdapat dibalik kampung itu.
Karet dan ikan inilah mata pencaharian mereka yang agak memadai. Memadai dalam arti sekedar cukup untuk menyambung hidup dari hari ke hari. Sebab baik memotong karet maupun menangkap ikan mereka lakukan secara tradisionil. Bila hujan turun karet tak dapat ditakik, mereka menangkap ikan. Bila air besar dan hujan turun pula, dimana getah dan ikan tak dapat ditangkap, mereka hanya berdiam dirumah.
Demikian kehidupan penduduk dikampung itu musim ke musim. Kampung itu merupakan salah satu dari sekian kampung disekitarnya yang mempunyai struktur ganda. Maksudnya, dalam hal adat istiadat mereka berkiblat ke Minangkabau. Sebab dari sanalah nenek moyang mereka berasal.
Karenanya dikampung itu dikenal juga dengan sistim Suku dan gelar seperti jamaknya dikenal di Minangkabau. Dan sistim keluarga yang dianut juga sistim ibu sebagaimana jamaknya di Minangkabau.Namun dalam segi pemerintahan, mereka tunduk ke Riau.
Sebagaimana jamaknya di Minangkabau, dikampung ini pemuda-pemudanya juga belajar silat. Silat yang berkembang disini adalah silat aliran Pangian. Yaitu silat yang berasal dari negeri Pangian di Kabupaten 50 Kota dekat Lintau.
Silat merupakan kebanggaan tua dan muda.



@



Tikam Samurai - 154