Tikam Samurai - 158

Dia merasa heran, merasa takjub dan sekaligus juga merasa luluh atas pertanyaan yang lugu dan polos itu. Dan isteri lelaki itu, yang tadi kena tendang berdiri disamping suaminya. Menangis melihat mayat anaknya.
Dan tiba-tiba lelaki itu melangkah lewat disisi KNIL itu, melangkah terus memangku anaknya.
“Ampunkan saya…ampunkan saya pak…” KNIL itu bermohon. Sementara air mata penyesalan mengalir dipipinya. Namun lelaki itu seperti tak mendengar ucapannya. Dia melangkah terus bersama istrinya. Membawa mayat anaknya.
“Ampunkan saya…” KNIL itu bermohon. Dia benar-benar merasa amat berdosa. Dan dia merasa tersiksa atas perlakuan lelaki pribumi yang tak mau membalas sakit hatinya. Kenapa lelaki itu hanya bertanya, kemudian pergi? Kenapa dia tak menikamnya saja?
Dan akhirnya KNIL itu menangis terisak-isak.
“Bunuhlah saya… bunuhlah saya. Saya tak layak untuk diampuni. Bunuhlah saya…bunuhlah saya….!” Dia bermohon pada penduduk yang mengitarinya. Namun semua penduduk hanya menatapnya dengan tatapan kosong.
Kemudian satu demi satu mengurusi maya teman-temannya yang mati kena tembakan tadi. Yang perempuan menangisi suaminya yang mati. Demikian pula kanak-kanak menangisi mayat ayahnya atau ibunya.
Dalam perkelahian yang singkat itu, selain kelima tentara Belanda yang mati itu, ternyata ada enam penduduk yang meninggal. Empat orang lelaki dewasa, seorang perempuan dan seorang anak-anak.
Kemudian satu demi satu mayat-mayat itu mereka angkut ke rumah masing-masing. Dan kini dilapangan bekas Pasar Jumat itu hanya ada enam tubuh tentara Belanda.
Lima diantaranya sudah jadi mayat, yang satu lagi menatap kesekitarnya dengan perasaan tak menentu. Dia adalah tentara KNIL yang menembak anak ibu yang tangan dan kakiknya dibabat si Bungsu.
Dia menoleh keliling. Dan matanya berpapasan dengan tatapan mata si Bungsu. Dia menatap pada samurai di tangan anak muda itu.
“Tolonglah saya. Bunuhlah saya. Jangan biarkan saya menderita seperti ini…” mohonya.
Si Bungsu menatapnya dengan tenang. Dia teringat pada nasib seorang Datuk penyamun yang nasibnya juga sama dengan KNIL ini.
Yaitu ketika Datuk itu bersama temannya datang ke Penginapan kecil di Aur Tajungkang untuk membalas dendam padanya. Kemudian menista Mei-mei. Datuk itu dia babat kedua tangan dan kedua kakinya.
Kemudian dia tinggalkan berguling mengerang dan memohon-mohon untuk dibunuh di lantai penginapan dan demikian pulalah yang dialami KNIL ini. Dia lebih suka mati daripada menanggung malu tak bertangan dan tak berkaki.
Si Bungsu sebenarnya memang ingin membunuh KNIL jahanam ini. Tapi dia ingin memberi pelajaran atas pembunuhan yang telah berkali-kali dilakukan si KNIL tersebut.
“Tolong bunuhlah saya…” KNIL itu memohon lagi.
“Bukan urusan saya. Orang kampung ini akan menentukan nasibmu. Engkau datang ke kampung ini membawa bedil, membunuh kanak-kanak. Menembaki perempuan dan lelaki yang tak berdosa. Bukankah penduduk di kampung ini tak pernah menyakiti kalian? Kenapa hari ini kalian datang membunuhi mereka”
KNIL itu tak bisa bicara.
Sementara itu, pedagang-pedagang selesai mengumpulkan jualan yang terlambat ditepian batang Kampar itu. Lalu tanpa bicara ba atau bu, mereka segera membuka tambatan sampan.
“Harap jangan terdengar oleh Belanda di Teratak Buluh atas peristiwa yang terjadi disini. Katakan saja bahwa kalian tak pernah bertemu dengan Belanda di kampung ini…”
Bilal berseru dari tebing kepada pedagang-pedagang itu. Sebab kalau sempat saj peristiwa ini bocor, maka dia sudah bisa meramalkan bahwa akan ke kampung ini seluruh pasukan Belanda untuk membunuhi mereka. Para pedagang itu tak ada yang menyahut.
“Kalau ternyata peristiwa ini bocor, maka ingatlah, kami akan mencegat kalian bila hilir ke Langgam. Dan kita akan bermusuhan sepanjang zaman….!” Bilal berseru lagi.
Sumpahnya ini membuat bulu tengkuk pedagang-pedagang yang akan berkayuh itu pada merinding. Kalau penduduk kampung ini memang bermusuhan dengan mereka sepanjang zaman itu berarti sepanjang zaman pula mereka tak dapat melayari sungai ini!
Dan itu berarti mereka kehabisan mata pencaharian pula. Sebab satu-satunya tempat berjualan yang menghasilkan uang adalah ke Teratak Buluh. Dan bila dagangan disana habis, mereka bisa jalan darat membeli dagangan baru ke Pekanbaru.
“Percayalah Bilal, dari kami takkan pernah terbuka rahasia ini. Kami bangga pada kalian, yang telah berani melawan dan membunuhi penjajah…” Pimpinan dari pedagang-pedagang itu berseru pula.
Dan mereka lalu berkayuh ke hulu satu demi satu. Ada dua belas sampan dan tongkang pedagang itu. Bergerak seperti siput merangkak pada arus sungai Kampar ke arah hulu.
Bilal menatap sampan itu bergerak. Setelah jauh, dia membalik. Menghadap pada kopral KNIL yang masih terbaring itu.



@



Tikam Samurai - 158