Tikam Samurai - 183

Nah, akan kita lihat bagaimana akhirnya soal ini. Kita sudah memulai bersama, dan kita akan tetap berkumpul bersama sampai soal ini selesai..”
Hannako kembali menangis.
Dia beru menghentikan tangisnya ketika di luar terdengar suara anak-anak menyanyi. Naruito pulang dari sekolah.
Dia masuk dengan melompat gembira. Namun terhenti dan membungkuk dalam-dalam memberi hormat takkala di pintu belik dia lihat si Bungsu tegak sambil tersenyum.
“Selamat sore Bungsu-san…” katanya.
“Selamat sore Naruito, kenapa sore baru pulang?
“Saya sudah bilang sama kakak tadi, bahwa ada acara di sekolah…mana kakak?”
Hanako mendengar adiknya pulang segera ke kamar mandi membersihkan diri. Dia tak ingin adiknya mengetahui bencana yang telah menimpa mereka siang ini.
“Kakakmu di kamar. Nah, letakkanlah buku. Sudah saatnya kita makan bukan?”
“Haii…!” seru anak itu sambil berlari ke kamarnya.
Sementara itu Hannako muncul di kamar makan menyiapkan makanan adiknya. Mereka memang belum ada yang makan sejak siang tadi.
“Engkau bisa iku makan bersama Kenji-san?”
Si Bungsu bertanya pada Kenji yang terbaring di tempat tidurnnya.
“Ya, saya akan ikut makan. Perut saya memang lapar. Tapi, apa jawab saya kalau Ito bertanya tentang luka ini?”
Mereka bertatapan. Tak ada yang bicara.
“Katakan saja engkau cedera dalam latihan…”
“Mereka tahu, dalam latihan Karate dan Judo tak dipergunakan senjata tajam…”
“Bagaimana kalau dikatakan bahwa engkau mendapat kecelakaan mobil ketika ke pasar tadi?”
“Ya, itu lebih baik…” kata Kenji sambil bangkit. Dan ketika makan Naruito menanyakan luka Kenji. Dan mereka menjawabnya sesuai rencana semula.
Lalu hari-hari setelah itu, mereka lalui penuh ketegangan.
Pagi, siang, sore, petang dan malam mereka menanti dengan tegang. Tak seorangpun yang bisa tdiru dengan lelap.
Jakuza seperti akan tiba setiap saat. Mereka demikian tegangnya. Hingga Hannako jatuh demam. Meski demikian, Naruito tetap disuruh sekolah seperti biasa.
Anak itu akan tetap aman. Sebab mereka pergi dan pulang sekolah dijemput oleh bus sekolah yang dijaga oleh petugas keamanan.
Kepada kedua kanak-kanak itu kejadian yang menimpa mereka tetap dirahasiakan.
Akhirnya suatu malam.
“Kenji-san….kita bisa gila menanti begini…” si Bungsu berkata perlahan agar tak membangunkan Hannako yang baru saja tidur. Saat itu sudah lewat tengah malam.
“Ya. Begini memang taktik Jakuza dalam menghancurkan mental lawan yang mereka anggap kuat Bungsu-san…”
“Mereka mengharap kita lengah. Atau menyerah. Atau mengharap kita pindah dan mereka menyikat kita di perjalanan…”
Si Bungsu menarik nafas panjang mendengar penjelasan Kenji.
Dan akhirnya si Bungsu memutuskan untuk datang sendiri kerumah Kawabata!
Menanti atau mendatangi, akhirnya toh sama saja. Yaitu pertarungan hidup atau mati. Perbedaan antara menanti dan mendatangi adalah lama dan cepatnya pertarungan itu terjadi. Jika Jakuza ingin menyiksa mental mereka lebih lama, maka itu berarti penantian itu bisa sebulan, dua bulan atau lebih.
Dalam saat penantian begitu, keseimbangan jiwa dan keteguhan mental benar-benar diuji. Mungkin dalam penantian itu mereka lengah. Menyangka Jakuza telah melupakan peristiwa itu. Dan disaat lengah itulah Jakuza beraksi.
Atau kalau tidak lengah, maka mereka yang menanti dengan tegang itu bisa pecah sarafnya. Hanya soalnya dia kini sendiri. Kalau saja Kenji tidak luka parah, maka dia yakin bisa berbuat lebih banyak jika pergi berdua.
Tapi kini Kenji luka parah. Dan kini masih belum pulih. Dia tak memberitahu Kenji akan niatnya itu. Yang jelas dia harus menyelesaikan masalah ini secepat mungkin. Betapapun jua, Kenji dan adik-adkinya harus dia bantu.
Dia berhutang budi banyak pada Kenji yang telah mengajarnya bahasa Jepang. Yang telah mengajarkan padanya tentang segala sesuatu kehidupan di negeri ini.
Dia datang kemari untuk membunuh orang Jepang. Dia datang karena orang Jepang telah melaknati negeri dan keluarganya. Dia datang sendiri, ternyata ada keluarga jepang yang mau bersahabat dengannya. Yang mengajarkan padanya tentang tatacara kehidupan negeri asing ini. Kalau tak ada Kenji, dia tak tahu bagaimana dia hidup di Tokyo ini. Bayangkan, berada di suatu negeri yang asing sama sekali. Asing bahasa dan asing segala-galanya.
Dia datang hanya dengan modal dendam dihati, samurai ditangan dan keberanian di dada. Hanya itu modalnya. Dan di negeri ini modal itu ditambah oleh Kenji dan adik-adiknya.
Dan kini Kenji serta dik-adiknya terancam bahaya. Bukankah dia harus membelanya?



@



Tikam Samurai - 183