Tikam Samurai - 192

“Ada apa sebenarnya?” tanya Kenji.
Sementara itu si Bungsu sudah mengucap salam akhir dari sholatnya di kamar. Telinganya amat tajam menangkap desah sepatu menginjak salju. Dan telinganya juga menangkap percakapan Kenji dan Hannako di luar.
Dia segera tahu, tentara Amerika telah menciumjejaknya. Perlahan dia menyelesaikan membaca doa.
“Apakah disini tinggal seorang Indonesia?” Kapten yang memimpin penangkapan itu bertanya dengan sikap hormat.
Hannako bertukar pandangan dengan Kenji.
“Ada apa sebenarnya?” tanya Hanako. Dan hal itu sudah cukup bagi Kapten itu untuk mengetahui bahwa mereka memang tak salah alamat.
Dia mengeluarkan sepucuk surat.
“Markas besar memerintahkan kami menangkap orang Indonesia bernama..” dia melihat surat perintah penangkapan itu, “ bernama Bungsu. Dia dituduh telah membunuh dua tentara Amerika di penginapan Asakusa beberapa bulan yang lalu…” Kapten itu berkata dengan sikap hormat sambil memberikan surat itu pada Kenji.
Kenji tak menerimanya. Mereka bertatapan. Tapi saat itulah si Bungsu muncul. Dia merasa kalaupun dia berniat melarikan diri, usahanya itu akan sia-sia. Sebab lebih dari selusin tentara mengepung rumah itu.
“Sayalah yang tuan cari….” Katanya perlahan. Kapten itu memandang keluar.
“Andakah yang bernama Bungsu?”
“Ya, sayalah orangnya…”
“Maafkan kami. Kami diperintahkan untuk menangkap anda dengan tuduhan membunuh dua orang serdadu kami di penginapan Asakusa beberapa bulan yang lalu. Kami harap saudar bisa mengikuti kami…”
Kapten itu memberi hormat sambil memperlihatkan surat perintah penangkapan.
“Ya, saya ikut…”
“Bungsu-san…” Hanako berteriak. Tangisnya segera pecah. Dan dia berlari sambil memeluk si Bungsu. Kenji tertegak diam.
“Tenanglah Hanako-san. Saya harus pergi”
“Tidak…tidak, oh jangan tinggalkan kami Bungsu-san….jangan tinggalkan kami…” tangis gadis itu tak terbendung lagi. Kapten Amerika itu tetap tegak di luar dengan sikap hormat.
Si Bungsu menatap pada Kenji. Air mata Kenji berlinang. Tuduhan membunuh pendudukan adalah tuduhan yang tak ada ampunannya. Bila terbukti, maka satu-satunya hukuman adalah hukuman mati.
“Apakah engkau memang melakukannya Bungsu-san?” Kenji bertanya dengan suara gugup.
Si Bungsu tak segera menjawabnya. Ada beberapa saat dia terdiam. Matanya menatap pada Kenji. Kemudian menatap pada Hanako pada Kenji. Kemudian menatap pada Hanako. Mereka semua pada terdiam. Kemudian terdengar suara si Bungsu perlahan, tapi pasti.
“Benar Kenji-san. Malam itu seorang letnan Amerika memakai kamar saya. Dia membawa seorang gadis Jepang yang tak pernah saya kenal. Saya dengar gadis itu menangis dan menolak untuk dinodai si Letnan
Saya tak bisa melihat orang lain dianiaya. Saya minta letnan itu secara baik-baik untuk membebaskan gadis itu. Tapi dia justru menghantam dan berniat membunuh saya. Maka tak ada jalan lain bagi saya, saya harus membela diri bukan?
Begitu dia terbunuh temannya dari kamar sebelah datang dengan bedil di tangan. Dan saya kembali harus mempertahankan nyawa saya. Keduanya mati karen samurai saya.
Malam itu saya melarikan diri dari penginapan Asakusa. Berlindung dari udara dingin di terowongan bawah tanah di Yotsui. Tak lama setelah saya berbaring, seseorang datang dan tidur pula disisi saya. Dan paginya saya ketahui, teman baru itu adalah Hanako-san”
Hanako merasa dirinya runtuh.
“Kalau tak ada lagi yang akan dibicarakan, kami ingin tuan mengikuti kami…” Kapten dari Polisi Militer tentara Amerika itu bicara dengan tetap dalam nada yang sopan dan sikap hormat.
“Ya, saya sudah siap…nah, Kenji-san saya banyak belajar tentang hidup di Jepang darimu. Terimakasih untuk segalanya, sahabat. Saya takkan melupakanmu. Saya takkan melupakan kalian. Jaga adik-adikmu baik-baik. Barangkali kita takkan bertemu lagi, selamat tinggal…”
Kenji tak dapat menahan airmatanya yang runtuh. Si Bungsu baginya tidak hanya seorang sahabat, tapi juga seorang saudara yang telah melindungi mereka. Dan dia tahu, Hanako adiknya mencintai pemuda itu. Dia suka kalu mereka menikah. Tapi dia tak pernah mau memulai pembicaraan ke arah itu.
Dia tahu, si Bungsu mempunyai tugas yang amat besar datang kemari. Dia tak punya waktu memikirkan jodoh.



@



Tikam Samurai - 192