Tikam Samurai - 199

Tapi ternyata dia tak berlaku masa bodoh. Dia menyimpan dendam yang dia bawa menyebrang laut itu di dalam hatinya. Tapi turun tangan mempertaruhkan keselamatan dan nyawanya untuk membantu gadis itu di Asakusa. Dan dia turun tangan membantu Hannako dan saudara-saudaranya dari ancaman Jakuza.
Anak muda Indonesia ini, yang berasal dari Gunung Sago, dari sebuah kampung kecil bernama situjuh Alang Laweh di Minangkabau, yang dia perbuat di sini hanya dapat disimpulkan dengan satu kalimat : dia telah membela harga diri orang Jepang. Dia membelanya, disaat orang Jepang sendiri berlaku Homo Homonilupus. Orang Jepang yang satu jadi serigala bagi orang Jepang lain.
Saya bisa buktikan itu dengan ketidak acuhan kita terhadap sesama bangsa. Saya berani buktikan itu dengan ribuan manusia yang kini hidup di terowongan bawah tanah. Ribuan kanak-kanak tanpa orang tua. Ribuan orang miskin tanpa tempat berteduh. Sementara kita di atas ini hidup serba berkecukupan.
Saya merasa malu pada diri saya. Kenapa tak sadari dulu saya bela anak ini. Saya telah menerima bayaran cukup tinggi dari seseorang yang tak mau disebutkan nama dan alamatnya.
Uang bayarannya yang tinggi untuk menyelamatkan anak muda itu telah saya kembalikan dua hari yang lalu. Dan kini saya akan mebelanya mati-matian. Kalau sampai dia tak bisa saya bebaskan, saya tidak hanya akan berhenti menjadi pengacara, tapi saya akan berhenti jadi orang Jepang! Saya akan harakiri!
Demi Budha, saya akan menepati sumpah saya ini. Membebaskannya atau bunuh diri. Dan kini, tuan-tuan datang kepada saya untuk menyerahkan uang pembayar pembelaan anak muda itu. Seharusnya saya marah, tapi karena tuan-tuan tak tahu, tak apalah.
Bawalah uang itu kembali. Serahkan pada yayasan lain. Bantu anak-anak yang ada dalam terowongan itu. Bantu orang-orang miskin itu. Tentang pembelaan anak muda ini, serahkan pada saya. Seluruh kekayaan saya akan saya pergunakan untuk menyelsaikan perkara ini”
Yasuaki Yamada berhenti. Matanya berkaca-kaca. Namun wajahnya memperlihatkan sikap yang teguh.
Ketiga lelaki, yang terdiri dari para Sarjana Universitas Tokyo itu, yang datang menyerahkan bantuan, duduk terdiam seperti patung mendengarkan ucapan pengacara mashyur tersebut.
“Lalu, apa yang bisa kami perbuat untuk membantu membebaskan anak Indonesia itu?” tanya salah seorang di antara mereka.
Yamada menarik nafas panjang.
“Ada satu hal, dan itu adalah soal terbesar yang bisa tuan bantu. Yaitu mencari gadis yang akan diperkosa tentara Amerika itu, yang kemudian dibela oleh si Bungsu. sampai saat ini saya belum bisa menemukannya. Jejaknya lenyap seperti salju yang mencair kemudian menguap lagi ke udara. Kita tak tahu siapa namanya. Dimana tinggalnya, nah tolonglah saya mencari gadis ini. Kalau dia bertemu, dan dia berada dipihak kita, maka saya yakin anak muda itu bisa dibebaskan…”
Dan akhirnya soal itulah yang mereka rembukan. Bagaimana mencari gadis tersebut.
“Apakah tuan telah menanyakan pada pihak Polisi Milter Amerika tentang gadis itu? Mungkin saja mereka mengetahui datanya…”
“Saya  sudah tanyakan hal itu. Mereka memang mengakui menahan gadis itu semalam. Lalu dilepas lagi. Tapi mereka mengatakan tak menanyakan namanya dan tak mencatat alamat siapa-siapa…”
“Itu adalah dusta sama sekali…” kata seorang profesor diantara anggota Tokyo University itu.
“Ya. Saya tahu itu dusta yang paling jahanam. Tapi mereka memang berhak berbuat begitu menurut hukum di negeri mereka. Kitalah yang harus mencari bahan bukti…”
“apakah tak bisa didesak agar pengadilan itu diadili oleh Hakim Jepang. Bukankah negeri ini bukan negeri Amerika, sehingga secara Juridis hukum Amerika tak bisa diterapkan disini?”
“Ucapan tuan benar seandainya negeri kita tidak kalah perang. Status negri kita ini, diatas sedikit dari negeri jajahan, tak memungkinkan hal itu terjadi. Mereka berhak menerapkan pengadilan menurut sistim di negeri mereka, karena yang terbunuh justru tentara mereka. Hukum negeri kita bisa dipakai kalau kedua belah pihak yang diadili tidak ada sangkut pautnya dengan warganegara atau kepentingan orang Amerika”
“Apakah namanya juga tak diketahui?”
“Pihak Amerika mengatakan Michiko atau Machiko. Mereka tak begitu jelas perbedaaannya. Soalnya gadis itu masih nerfus malam itu”
“Michiko, Machiko…ribuan gadis bernama seperti itu di kota ini…”
“Ya, itulah kesulitannya. Apalagi pihak Amerika katanya tak menyanyakan siapa nama keluarganya. Tak pula mencata alamatnya. Menurut proses verbal, gadis itu didapat oleh tentara Amerika dari suatu taman di tengah kota. Kalau keterangan itu benar, maka gadis itu pastilah kupu-kupu malam.



@



Tikam Samurai - 199