Tikam Samurai - 214

“Akan saya sampaikan. Mari ikut saya….” Si Bungsu membungkuk memberi hormat. Kemudian mereka berjalan lewat pendeta-pendeta yang tengah latihan itu. Menuju ke ruang tunggu kuil Shimogamo tersebut.
Dari altar, mereka menaiki anak tangga yang jumlahnya sembilan buah. Lalu mereka melewati sebuah ruangan yang bersih dari marmar. Ruang itu tak berdinding. Hanya bertiang besar-besar.
Ada sepuluh meter persegi luasnya. Kemudian dia di bawa turun. Ruang ini tak ada kursi. Tapi bersihnya bukan main.
“Haraplah menanti disini…” kata pendeta itu. Si Bungsu mengangguk. Dan dia segera saja duduk berlutut di lantai.
Pendeta tadi menuju ke ruang tengah yang pintunya tertutup dari balik pintu terdengar suara berguman perlahan. Pastilah tengah berlangsung upacara agam di ruang sebelah itu.
Dari luar sayupsayup terdengar suara-suara orang latihan beladiri.
Seorang gadis lewat di samping si Bungsu. melihat pintu tertutup, gadis itu tegak tak berapa jauh dari tempat si Bungsu berlutut. Kemudian gadis itu juga berlutut. Dia menaruh sebuah keranjang yang nampak berisi makanan di sisinya.
Sepintas si Bungsu menoleh padanya. Gadis itu kebetulan juga tengah menoleh padanya.
“Bungsu-san…” seru gadis itu. Wajahnya berseri.
“Michiko….” Kata si Bungsu tertahan. Ya, gadis itu adalah Michiko. Dia memakai kimono berwarna putih salju dengan bunga-bunga sakura berwarna merah jambu tergambar di kimononya itu.
Di punggungnya dia memakai Obi, semacam stagen. Dan dikepalanya yang berambut hitam ikal dia memakai Kanzashi berbunga. Yaitu semacam sanggul khas Jepang.
Gadis itu segera saja bangkit. Membawa keranjan kecilnya dan sengan wajah berseri duduk berjongkok di sebelah kiri sisi si Bungsu.
“Aaa, saya hampir-hampir tak mengenal Bungsu-san dalam pakaian begini. Bungsu-san persis seperti seorang samurai yang siap bertempur. Gagah dan perkasa”
Michiko berkata sambil menatap si Bungsu yang memegang samurai itu.
Si Bungsu juga balas menatap kagum pada gadis cantik itu.
“Engkau benar-benar gadis yang cantik Michiko-san…” katanya perlahan. Wajah Michiko bersemu merah. Matanya bersinar menatap si Bungsu.
“Ada keperluan apa Bungsu-san kemari?” tanyanya. Dan pertanyaan itu belum terjawab, ketika pintu yang dimasuki pendeta tadi terbuka.
“Dengan segala senang hati, Obosan menanti kedatangan anda…” kata pendeta itu.
“Bungsu-san….engkau akan bertemu dengan Obosan…?” Michiko bertanya dengan heran.
“Ya, maafkan saya harus pergi….” Jawabnya sambil berdiri.
“Nona Michiko….” Pendeta yang menyilahkan si Bungsu masuk itu menegur Michiko dengan gembira.
“Selamat pagi pak…” sapa Michiko ramah.
Sementara itu pintu ruangan terbuka lebar. Si Bungsu melangkah. Tegak di ambang pintu.
Dan dalam ruangan upacara itu, tegak sekitar enam belas lelaki berjubah kuning berkepala botak. Tegak berbaris di dua sisi.
Persis di ujung kedua barisan itu, dekat altar pemujaan, tegak seorang pendeta bertubuh tinggi gagah dan anggun dalam jubah merah.
Dia tegak menatap pada si Bungsu.
Si Bungsu tegak mengangkang di pintu menatap kepala pendeta yang tegak gagah dan berwajah ramah itu.
“selamat datang di kuil Shimogamo, anak muda. Saya dengar engkau datang dari jauh. Mari silakan masuk….” Obosan (kepala pendeta) itu berkata dengan ramah.
Di telinga si Bungsu, suaranya yang ramah itu seperti datang dari liang lahat. Seperti suara cangkul menggali pusara. Seperti suara gonggong anjing di tengah malam.
Dia tak beranjak dari tempatnya tegak.
“Silahkan masuk, kuil ini terbuka buat semua orang. Ada yang bisa saya bantu…?” Tanya Obosan itu. Suaranya masih ramah. Sementara keenam belas pendetanya menatap diam dari tempat mereka tegak.
“Terimakasih. Saya mencari seorang lelaki, bekas balatentara Dai Nippon. Bernama Saburo Matsuyama. Ada lelaki itu disini?”
Suara si Bungsu bergema. Semua orang jadi terdiam mendengar suara yang alangkah dinginnya itu. Seperti suara yang datang dari guha yang sunyi.
Mengandung misteri dan mengandung suara bahaya.
Dia menatap kepala pendeta itu tepat-tepat dalam jarak dua puluh depa dari tempatnya tegak.
“Siapa anda, anak muda?” Obosan itu. Masih ramah dan lembut suaranya.
“Saya orang Indonesia…” jawabnya dingin.
“Saya banyak mengenal banyak teman-teman dari Indonesia. Apa yang dapat saya bantu?” pendeta itu masih bicara perlahan dari tempatnya tegak.
“Anda banyak teman, yaitu penghianat di negeri kami kami. Anda masih kenal saya, Saburo?”



@



Tikam Samurai - 214