Tikam Samurai - 216

Anak dari seorang lelaki yang telah menista dan memusnahkan keluarganya. Seorang fasis yang telah merejam dan menista negerinya. Tanpa dapat dia tahan, bulu tengkuknya sendiri menerima kenyataan pahit ini.
Saburo Matsuyama demikian pula. Dia telah “cuci tangan” dari urusan-urusan duniawi. Dia ingin mencuci dosa yang dia perbuat selama perang dengan menjadi seorang pendeta.
Keyakinan, amal saleh dan kedermawanannya menyebabkan dia diangkat oleh dewan pendeta menjadi Kepala Pendeta di kuil Shimogamoini. Yaitu salah satu diantara tak banyak kuil yang berpengaruh tidak hanya di Kyoto, tetapi juga di kawasan Jepang bahagian Selatan!
Dua hari yang lalu dia demikian bahagia menerima kepulangan puteri tunggalnya dari Tokyo. Dia terkejut mendengar bencana yang hampir menimpa anaknya. Dia sangat berterimakasih atas bantuan pemuda yang belum dikenal itu.
Dia ingin mengadakan doa selamatan atas terhindarnya Michiko dari bencana tersebut. Dan dia telah merencanakan untuk datang hari ini selesai dia memimpin upacara keagamaan ke hotel anak muda itu.
Michiko berkata bahwa anak muda yang menolongnya itu berasal dari Indonesia. Tak sedikitpun hatinya berdetak, bahwa anak muda yang menolong anaknya itu adalah si Bungsu yang mencarinya untuk membalas dendam.
Dan kini dia dihadapkan pada kenyataan yang alangkah pahitnya ini. Dia melepaskan pelukan anaknya.
Maju dua langkah ke hadapan si Bungsu yang tegak memegang samurainya dengan wajah dingin. Saburo berlutut di lantai. Membungkuk dalam-dalam. Kemudian terdengar suaranya bergetar.
“Bungsu-san, terimakasih banyak atas pertolonganmu pada anak saya. Semoga Tuhan membalas kebaikanmu. Saya tahu betapa pedihnya dendam yang kau simpan selama bertahun-tahun.
Kini, saya akan menerima pembalasanmu. Bertahun-tahun saya menghindar dari rasa takut atas dosa yang saya perbuat. Tapi akhirnya Tuhan menunjukkan bahwa cepat atau lembat pembalasan atas dosa yang diperbuat manusia atas manusia lain, pasti akan dibalaskan. Saya terima apapun pembalasan yang kau lakukan padaku…”
Si Bungsu maju setindak dan mencabut samurainya. Dan tindakan inilah yang mendatangkan bencana yang tak terhindarkan di kuil Shimogamo itu. Dia maju mencabut samurainya tidak dengan maksud menebas leher Saburo yang menunduk itu. Dia ingin menancapkan samurai itu lantai dihadapan lelaki itu.
Dan setelah ditancapkan, dia ingin berkata:
“Kau lihatlah samurai ini Saburo. Putih berkilat, tapi berlumur darah dan berbau maut. Dengan samurai ini dahulu keluargaku kau habisi nyawanya, kini dengan samurai ini pula aku menuntut balas….!”
Itulah yang ingin dia perbuat dan ucapkan. Tapi para pendeta yang enam belas orang itu, yang berkumpul di sekeliling si Bungsu, menyangka bahwa dia akan menghentakkan ujung samurainya ke tengkuk Obosan mereka.
Karena berfikir demikian, maka wajar saja mereka turun tangan membela. Dua orang diantaranya, yang tegak dekat ssebuah kursi, segera menyambar kursi itu dan menghantamkannya pada si Bungsu.
Anak muda ini mendengar desir angin kursi yang dihantamkan itu. Dan dia tahu bahwa dia diserang dari belakang.
Dia berbalik dengan cepat. Tangannya yang memegang samurai terhunus itu bekerja cepat sekali. Kursi yang terbuat dari kayu keras itu putus seperti batang pisang. Patahannya beserpihan.
Si Bungsu sebenarnya tak mau segera menurunkan tangan kejam terhadap para pendeta itu. Dia sudah akan menghentikan serangannya. Tapi para pendeta itu justru melanjutkan serangannya.
Mereka tetap menyangka anak muda ini akan membunuh Obosan mereka. Pendeta Gemuk yang memegang sisa kaki kursi yang runcing menghujamkannya kaki kursi itu ke rusuk si Bungsu.
Si Bungsu yang telah menghentikan gerakannya, jadi terlambat mengetahui serangan ini. Tak ampun lagi, rusuknya robek! Darah mengalir. Dan kesalahan pengertian kecil itu, segera robek menjadi perkelahian maut.
Mereasa dirinya dilukai, si Bungsu sadar bahwa orang ini menghendaki nyawanya. Maka begitu kaki kursi yang runcing itu merobek rusuknya, samurainya bekerja dua kali sabetan ke belakang. Perut pendeta itu robek.
Temannya yang satu lagi melemparkan pula sisa kursinya pada si Bungsu. dan dia juga menerima bahagian yang mengerikan. Tangannya putus dan rusuknya robek menganga!
Terlalu cepat kejadian itu untuk segera dipahami Saburo. Dia masih menunduk ke lantai, siap menerima pembalasan si Bungsu ketika tragedi berdarah itu berakhir.
Ketika mengangkat kepala, kedua pendeta itu sudah rubuh mandi darah dan mati. Rusuk si Bungsu sudah terluka.
Dia kaget dan segera berdiri. Dan kekagetannya ini disalah tafsirkan oleh pendeta yang lain. Mereka menyangka Saburo tegak untuk menyerang si Bungsu. padahal bekas perwira Jepang itu ingin menghentikan peratarungan tersebut.



@



Tikam Samurai - 216