Tikam Samurai - 217

Begitu Saburo tegak, empat pendeta segera menghantam si Bungsu. para pendeta dalam kuil ini tak seorangpun yang bersenjata. Senjata hanya mereka pakai ketika latihan di Doyo.
Mereka lalu menyerang dengan jurus-jurus Kuntau, Kungfu atau Karate. Namun tangan kosong mereka, betapapun tangguhnya, menghadapi samurai si Bungsu, benera-benar suatu hal yang patut dikasihani.
Kalau saja lawan mereka bukan si Bungsu, mungkin mereka bisa menang. Tapi lawan mereka adalah si Bungsu!
Untung saja anak muda ini tak mau turun tangan kejam pada penyerang-penyerang tangan kosong ini. Betapapun jua, dia bukan tukang bantai. Dan dia memang menghindarkan pembantaian itu.
Dia bergulingan di lantai menghindarkan serangan itu. Ke empat pendeta itu maju terus.
“Tahan…!!!” si Bungsu berkata sambil menjauh. Tapi saat itu nampaknya bencana yang lebih jauh besar sudah tak terhindarkan lagi.
Mendengar pekik Michiko dan bentakan-bentakan tadi, beberapa orang Sensei (instruktur) silat yang tegak di teras mengawasi pendeta yang berlatih jadi kaget.
Mereka segara masuk. Dan melihat betapa orang asing tadi berkelahi dengan pendeta-pendeta rekan mereka. Tentu saja mereka jadi marah dan bersamaan menghunus samurai!
Begitu empat orang sensei itu masuk, keempat pendeta bertangan kosong itu mundur. Dan keempat sensei itu mengurung si Bungsu di tengah.
“Tahan…!” si Bungsu masih coba   menghindarkan pertumpahan darah.
“Semua mundur!” terdengar perintah Saburo. Tapi situasi kembali tak memberi peluang bagi pendeta untuk menjalankan seruan si Bungsu atau perintah Saburo.
Ke empat sensei itu sudah menggebrak maju. Seiring dengan pekik Michiko, empat samurai menyerang si Bungsu dari empat jurusan di empat tempat berbahaya dengan kecepatan yang terlatih!
Para pendeta kuil Shimogamo ini adalah para pendeta yang disegani di Kyoto. Mereka disegani selain karena punya pengaruh dan wibawa yang sangat dihormati, juga karena di kuil ini terdapat pendekar-pendekar tangguh.
Dan sebenarnya, menghadapi keempat sensei ini, jarang ada orang yang bisa luput dari ancaman maut. Dan itu juga sudah bisa diperhitungkan para pendeta tersebut. Termasuk Saburo.
Orang tua bekas Letnan Kolonel balatentara Jepang itu, segera maju menghalangi keempat anak buahnya. Dia tak ingin anak muda yang telah menolong puteri tunggalnya itu celaka.
Namun gerakannya terlambat jika dibandingkan dengan gerak samurai keempat anak buahnya itu. Tapi keempat samurai anak buahnya itu juga terlambat jika dibandingkan dengan gerak samurai si Bungsu!
Si Bungsu, anak muda yang telah bertekad mati demi membalaskan dendam keluarganya itu adalah seperti malaikat maut yang luar biasa berbahanya.
Sudah bertahun dia melatih diri. Dan kini saatnya hasil latihan itu dipergunakan. Kalau selama di Bukittinggi, Pekanbaru atau di Tokyo dan terakhir di Gamagori melawan bandit-bandit Kumagaigumi, semata-mata untuk membela diri atau membela orang lain. Maka kini adalah tujuan daripada seluruh latihan yang bertahun dia jalani itu.
Dia telah hidup menderita penuh cobaan di Gunung Sago. Itu semua dengan tujuan membalas dendam pada Saburo.
Kalau di Bukittinggi dia diburu, kemudian membantu perjuangan kaum pejuang bawah tanah, itu semua juga dalam rangka mencari Saburo.
Kalau di Tokyo dia melawan tentara Amerika dan melawan Jakuza itu juga sekadar untuk mempertahankan dirinya agar tetap hidup untuk bisa bertemu Saburo!
Kini dia berkelahi di hadapan Saburo. Bukan dengan Saburo! Makanya dia juga harus tetap hidup untuk bisa melawan Saburo! Sumpah ayahnya sesaat sebelum mati, dengan samurai tertancap di dada, bahwa ayahnya akan membalas dendam pada Saburo, hari ini harus dia lakukan!
Dia harus hidup untuk bisa melaksanakan sumpah dan dendam turunan itu! Karenaya anak muda itu kini berubah menjadi singa luka yang alangkah berbahayanya!
Keempat samurai sensei itu dia tangkis dengan kecepatan yang luar biasa. Tangan para sensei itu tergetar dan pedih begitu samurai mereka beradu.
Mereka terkejut. Namun itulah saat mereka terkejut untuk terakhirkalinya. Sebab setelah itu, kecepatan samurai orang asing itu sudah tak bisa lagi mereka ikuti.
Tahu-tahu mereka mendapatkan diri mereka seperti dilumpuhkan. Ada yang merasa dadanya robek, ada yang merasakan jantungnya pecah. Ada yang merasakan perutnya ngilu. Lalu dunia mereka gelap! Mereka rubuh, mati!
Hanya dalam sekali gebrak. Keempat sensei kuil Shimogamo ini mati! Namun murid-murid nya yang latihan di luar sudah membanjir masuk. Dan kini dengan tongkat yang panjangnya satu setengah depa, besarnya selengan lebih, mereka menyerang si Bungsu.
Si Bungsu melihat ini sebuah bencana besar. Betapapun tangguhnya dia, namun menghadapi tongkat panjang ini amat berbaya.



@



Tikam Samurai - 217