Tikam Samurai - 238

“Ambilah. Bungsu-san. Kita masih tetap sahabat. Kini dan sampai kapanpun…” suara lelaki buta itu terdengar jujur dan mengharukan.
Si Bungsu melangkah. Memegang ikan bakar itu. Kemudian duduk di sisi Zato Ichi.menyenduk bubur di panci. Memasukkannya ke dalam mangkuk. Memberikannya ke tangan si Zato Ichi.
“Arigato…” kata si buta itu perlahan.
Si Bungsu menyenduk semangkuk lagi untuknya. Kemudian mereka makan dengan berdiam diri.
Selesai makan siang itu, Zato Ichi kembali meramu obat-obatan. Cukup lama dia meramu obat itu. Si Bungsu menatapnya dengan diam dari pembaringan. Betapapun jua, dia belum pulih seratus persen.
Entah berapa lama Zato Ichi meramu obat tersebut. Si Bungsu tak begitu pasti. Tapi yang jelas dia jatuh tidur setelah makan siang itu.
Barangkali hari sudah sangat sore ketika dia terbangun. Rumah kecil itu kosong. Tapi dari luar terdengar bunyi suling yang merawankan hati.
Dia segera tahu bahwa yang meniup suling itu adalah Zato Ichi. Dia pernah mendengarkannya ketika dia dirawat dua hari yang lalu.
Suling dimanapun nampaknya sama. Dia juga punya sebuah suling yang bernama bansi. Dan dia membawanya. Bansinya sering dia tiup kalau hatinya sedang gundah. Kalau dia sedang sepi sendiri.
Dan kini dia dengar Zato Ichi meniup sulingnya. Lelaki buta itu adalah lelaki yang menjalani lorong sepi yang tak berujung. Yang hidup dari magma sepi yang satu ke pusat sepi yang lain.
Perlahan dia bangkit. Dipan kayu dimana dia berbaring berdenyit halus ketika dia turun. Suara suling di luar berhenti. Kemudian terdengar suara Zato Ichi:
“Minumlah obat di dalam mangkuk itu Bungsu-san. Itu adalah obat terakhir untukmu. Kalau obat semala tiga hari ini merawat lukamu dari luar, maka di mangkuk obat itu akan memulihkan peredaran darahmu dari dalam. Minumlah….”
Si Bungsu menarik nafas. Zato Ichi rupanya mendengar bunyi denyit tempat tidurnya ketika dia turun.
Dan dari sana, dapat diterka, betapa tajamnya pendengaran pendekar buta itu. Si Bungsu jadi terharu. Ternyata Zato Ichi masih meramu obat untuknya.
Si Bungsu yakin, bahwa obat ini memang obat. Takkan mungkin seorang berhati mulia seperti Zato Ichi akan memperdayakan dirinya dengan obat tersebut.
Dia mengangkat mangkuk itu. Memang ada kelaianan bau. Tapi dengan keyakinan penuh dia meminum obatnya. Tapi pada teguk pertama saja, celaka sudah menjeput pemuda dari Gunung Sago ini.
Seharusnya dia sudah bisa menebak dari bau obat yang amat keras itu. Bahwa ada sesuatu yang luar biasa dalam obat tersebut. Dan mangkuk obat itu segera saja jatuh ke lantai. Pecah dan isinya tumpah.
Tubuh si Bungsu menggetar. Rasa panas yang amat luar biasa menyerang jantungnya!
“Racun…!” bisiknya.
Di luar, suara suling Zato Ichi terdengar berbunyi kembali. Lembut dan menimbulkan perasaan haru. Namun si Bungsu mendengarkannya dengan penuh penderitaan. Dia tengah berjuang dengan maut.
Dia merangkak ke pembaringan, menggapai ke atas. Mengambil samurainya. Kemudian tangannya menyentuh gelas. Jatuh pecah! Suara dentingnya membuat suling Zato Ichi terhenti.
Si Bungsu muntah darah. Tapi dia menahannya sekuat mungkin. Jahanam itu pasti menanti bunyi muntah atau tubuh yang jatuh. Dan dia akan masuk menyudahi nyawaku, pikir si Bungsu.
Tak dia duga sedikitpun. Lelaki yang jadi legenda Jepang itu berhati pengecut seperti ini. Dia tak berani menghadapinya dengan samurai secara terang-terangan. Dan dia memakai racun!
Jahanam yang benar-benar pengecut, sumpah si Bungsu. dia tahan muntahnya sedapat mungkin agar tak terdengar keluar.
Namun suara suling itu terhenti lagi. Si Bungsu menahan nafas. Dia tak ingin telinga si buta yang tajam itu mendengar bahwa nafasnya memburu.
“sudah engkau minum obat itu Bungsu-san?” terdengar suara Zato Ichi perlahan. Si Bungsu kembali menyumpah.
Benar-benar seorang pemain watak yang jahanam sumpahnya. Kalau dia jawab “sudah” si buta itu tentu akan masuk dan menonton betapa dia menyudahi lawanny.
“Belum….!” Jawabnya berusaha bersuara dengan wajar. Dan sehabis mengucapkan itu, kembali darah segar muncrat dari bibirnya.
“Minumlah agar engkau pulih kembali seperti biasa….” Suara Zato Ichi terdengar lagi. Si Bungsu menggertakkan gigi.
Dan dia mulai melangkah menuju pintu. Betapapun jua, sebelum mati, dia harus menghajar si buta itu. Dia tak mau mati terkapar seperti anjing yang terminum racun.
Tiba di pintu tubuhnya menggigil.  Panasnya sudah tak tertahankan lagi. Dia meminum obat itu hanya setengah teguk. Tapi akibatnya sangat fatal. Seluruh wajahnya berobah jadi hitam. Tangannya juga!



@



Tikam Samurai - 238