Tikam Samurai - 298

Mobil itu bergerak. Si Bungsu seperti berangkat menuju medan perang dunia. Dalam cahaya lampu jalan yang mereka lintasi tiap sebentar, si Bungsu menatapi temannya dalam Jeep itu satu persatu.
Miguel yang orang Spanyol, ahli meteorolgi. Sony, orang Inggris yang ahli alat peledak, Tongky, Negro Amerika ahli menyamar dan menyelusup ke daerah musuh. Licin bagai belut. Fred Williamson, orang Scotlandia yang ahli karate, Jhonson, berpangkat kopral berasal dari Inggris selatan, ahli renang dan berkelahi dalam air.
Di depan duduk sersan Donald yang ahli dalam soal-soal bedil dan mesiu. Kini dia pegang kemudi Jeep. Kemudian Kapten Fabian, orang Australia yang tak dia ketahui apa keahlian spesifiknya.
Tapi melihat keseganan anak buahnya, melihat wibawanya jelas dia punya banyak kelebihan. Jeep bekas perang dunia ke II itu meluncur dalam gelapnya malam. Barangkali memang persis sepuluh menit seperti perkiraan Kapten Fabian tadi. Mobil itu berhenti mendadak.
Tanpa menimbulkan suara mereka berlompatan turun. Jeep itu kemudian dibelokkan ke dalam semak-semak sepuluh meter dari jalan.
Didahului oleh Tongkyu yang negro itu, mereka mulai berjalan. Selang lima menit, mereka sampai di pinggir sebuah sungai. Nampaknya mereka berada di daerah muara. Sebab sungai itu kelihatan amat lebar. Dan di Selatan sana kelihatan muara samar-samar menganga memuntahkan air sungai ke laut lepas.
Mereka berada di sungai Jurong. Sungai yang tadi dikatakan oleh Kapten Fabian dalam penjelasannya.
Sebuah perahu karet yang cukup besar segera ditarik bersama ke air. Mereka lalu naik. Dan masih belum sepatahpun ucapan yang keluar sejak mereka berangkat dari markas tadi. Enam orang kecuali Katen Fabian, si Bungsu dan Tongky, segera mendayung sampan karet tersebut ke Muara.
Ketika tiba di mulut muara, Tongky dan Donald mengangkat sebatang aluminium sebsar lengan. Aluminium itu terlipat-lipat. Ketika dibuka dan disambungkan lagi dengan beberapa baut, aluminium yang semula hanya sepanjang dua meter itu berobah menjadi tiang layar setinggi empat meter.
Dengan kerjasama yang cepat dan masih tanpa suara, layar yang nampaknya dibuat dari kain parasut pasukan komando itu dipasang. Miguel si Spanyol yang ahli meteorologi itu memang tak omong kosong ketika mengatakan bahwa malam ini angin akan berhembus dari utara.
Tak lama setelah layar terkembang, angin bagaikan dipanggil saja. Layar yang terbuat dari kain parasut tipis berwarna merah darah itu segera saja menggelembung. Dan sampan karet itu tiba-tiba seperti disentakkan. Meluncur dengan kecepatan tinggi menuju pulau Pesek yang kelihatan sayup sayup dalam cahaya laut.
“Jam berapa sekarang..?”
Itu kalimat pertama. Dan diucapkan oleh Miguel. Kapten Fabian membuka tutup jam tanganya yang terbuat dari kulit hitam. Dalam gelap kelihatan angka-angkanya bersinar kebiru-biruan seperti kunang-kunang.
“Jam sebelas…” katanya.
Miguel  mengangkat tangannya tinggi keatas. Lalu hidungnya diarahkan ke utara. Ke arah datangnya angin. Dia seperti mencium sesuatu.
“Angin akan berobah. Kita akan dibawa ke Timur. Kepulau Marlimau. Dan hujan segera turun..”
“Hujan..?” tanya Kapten Fabian.
“Ya. Tapi yang berbahaya adalah perputaran angin. Daerah ini adalah selat dangkal. Terletak antara dua pulau. Angin tak begitu bebas. Pukulan angin bisa berobah karena terbentur hutan dan pulau-pulau di depan sana. Lebih baik layar sebelum terlambat…”
Tak ada yang membantah. Layar segera diturunkan. Si Bungsu jadi heran. Padahal angin masih bertiup dari arah buritan dengan kencang. Tak ada tanda-tanda akan berobah. Tak pula dia lihat akan datangnya hujan. Langit memang gelap. Tapi tak ada guruh, tak ada kilat. Hujan lebat darimana yang akan datang?
Namun dia tak usah menanti lama. Ketika layar baru saja selesai dilipat, ada suar seperti bertepuk. Dan angin tiba-tiba menampar dari rusuk kiri. Lalu berpiuh. Menampar dari rusuk kanan.
“Rapatkan tubuh ke perahu…!” terdengar perintah Kapten Fabian. Semua mereka menunduk dalam-dalam. Si Bungsu dalam tunduknya itu melayangkan pandangan pada Miguel yang duduk di kanannya.
“Kau memang hebat sobat. Ramalanmu tentang angin yang berkisar dapat ponten sembilan. Tapi tentang hujan? Saya berani bertaruh. Kalau hujan tak….” Kalimat itu tak pernah ia ucapkan.
Dia hanya bicara dalam hatinya saja. Tapi pembicaraan dalam hati itupun tak sampai keujungnya. Sebab ketika otaknya selesai mengucapkan kata “Bertaruh”, hujan tiba-tiba saja seperti dicurahkan dari langit. Seperti ada gergasi di atas kepala mereka yang menunggangkan air ratusan drom sekedar untuk membuktikan ucapan Miguel yang orang Spanyol itu.



@



Tikam Samurai - 298