Tikam Samurai - 240

Kami yakin engkau pasti mau kerjasama untuk melenyapkan jahanam ini. Tapi siang tadi Ichi-san sembahyang terlalu lama dalam kuil. Makanya kami masuk saja. Kami lihat orang itu tidur terlalu nyenyak. Kami ingin menyudahninya dengan samurai, tapi kabarnya lelaki ini firasatnya amat tajam. Dan samurainya amat cepat. Makanya kami mencari jalan aman yang tak mengandung resiko. Kami hanya memasukkan racun pembunuh ikan paus kedalam obatmu itu.
Dan buktinya, kerja kami selesai, tugasmu untuk melenyapkan orang itu juga selesai. Ichi-san hanya tinggal melapor pada Doku Matsuyama bahwa orang itu telah mati oleh samuraimu. Beres bukan? Hehe..”
Zato Ichi tak bergerak. Tubuhnya tetap tegak diam. Setelah meramu obat tadi, dia pergi sembahyang ke kuil di depan rumah itu. Cukup lama dia sembahyang. Dan di saat itulah kiranya jahanam ini masuk.
Dan dia benar-benar menyesal meninggalkan si Bungsu sendirian di dalam rumah itu.
“Jangan khawatir Ichi-san. Kami tidak akan menganiaya mayatnya. Kami hanya menginginkan samurainya sebagai bukti, bahwa dia sudah mati. Sekaligus juga sebagai kenang-kenangan bukan? Nah, mundurlah agar kami bisa mengambil samurainya….’
Wajah Zato Ichi membersitkan amarah yang amat hebat.
“Datanglah kemari, ambil samurainya setelah kalian melangkahi mayatku….” Suaranya terdengar mendesis. Pahlawan samurai Jepang ini benar-benar merasa muak melihat tingkah laku anggota Kumagaigumi itu.
Dia jadi sangat marah, karena si Bungsu menyangka bahwa dialah yang meletakkan bubuk racun itu ke dalam obat tersebut.
Dia sangat membenci sikap licik begitu. Kini meski si Bungsu adalah orang yang harus dia bunuh demi membalas hutang budi pada Saburo, namun dia tak mau mempergunakan sikap licik. Kalaupun dia harus membunuh si Bungsu, maka itu akan dia lakukan dengan sikap satria. Menantangnya bertarung dengan samurai.
“Heh….he. zamanmu telah berlalu Zato Ichi, kini minggirlah….” Suara pimpinan Kumagaigumi itu terdengar memerintah. Dan mereka lalu mengurung tubuh Zato Ichi.
Mereka kini mengurung Zato Ichi dalam jarak yang sangat ketat. Meski pahlawan samurai itu sudah kelihatan tua, namun ketiga mereka yakin bahwa Zato Ichi masih tetap Zato Ichi yang dahulu.
Cepat dan sangat mahir dengan samurai. Itulah kenapa sebabnya kini mereka agak ragu untuk membuka serangan.
Lelaki buta itu menunduk. Tangan kanannya tergantung lemas di sisi tubuh. Tangan kirinya memegang samurai yang diangkat agak tinggi. Setinggi pinggang. Yang mula membuka serangan adalah yang tegak di belakang Zato Ichi. Lelaki itu mempergunakan gerak tipu. Dia melempar Zato Ichi dengan sarung samurainya.
Telinga Zato Ichi yang sangat tajam mendengar desiran angin. Dan samurainya membabat sangat cepat. Saring samurai itu putus tiga! Namun saat itu pula lelaki yang tegak di sisi kanan dan di belakangnya bergerak tak kalah cepatnya.
Samurai mereka berkelabat! Namun suatu hal yang di luar dugaan terjadi pula. Tubuh si Bungsu yang tadi rubuh muntah darah, pada saat yang sangat tak terduga bergerak.
Tangannya yang masih menggenggam samurai terhayun. Dan lelaki yang tegak disisi Zato Ichi, yang menyerang lelaki buta itu, tak sempat berbuat apa-apa.
Bahkan untuk kagetpun dia tak sempat. Sebab gerakan dari orang yang sudah diduga “mati” itu tak pernah dia bayangkan.
Dari bawah samurai anak muda itu membelah ke atas. Kerampang Jepang itu belah. Ikut pula terbelah beberapa alat peraga di kerampangnya itu.
Matanya mendelik, dan dia mengejang-ngejang. Lalu rubuh mati! Si Bungsu duduk bertelekan di kedua lututnya.
Namun saat itu pula Zato Ichi yang tadi ditipu dengan lemparan sarung samurai itu kena babat perutnya. Terdengar dia mengeluh. Tubuhnya terhuyung, yang dibelakangnya memburu.
Namun dia masih tetap Zato Ichi yang mampu bergerak cepat. Begitu anggota Kumagaigumi melangkah dua langkah memburunya, dia menjatuhkan diri di lutut kanan. Kemudian samurai di tanggannya memancung ke belakang.
Anggota Kumagaigumi itu seperti pisang kena tebang. Perutnya dimakan samurai Zato Ichi. Berkelonjotan sebentar. Kemudian mati!
Dan kini yang tinggal hanya seorang. Dengan terkejut dia memandang pada Zato Ichi dan si Bungsu bergantian.
Dan yang masih hidup ini adalah lelaki yang memimpin penyergapan pagi tadi.
“Telah kukatakan pagi tadi, bahwa siapa saja yang menghalangi jalanku, akan kubunuh pada kesempatan pertama….” Suara si Bungsu terdengar bergema dingin.
Dia masih duduk di atas kedua lututnya. Samurainya tergenggam di tangan kanan. Nampaknya dia sudah lemah sekali. Dia bertelakan untuk tetap seperti itu pada sarung samurainya yang dia tekankan kuat-kuat ke lantai batu.
Pimpinan Kumagaigumi ini berfikir. Kedua lawannya ini amat berbahaya. Tapi kini keduanya tidak dalam keadaan normal. Zato Ichi terluka perutnya. Si Bungsu terminum racun. Tapi kenapa lelaki asing itu tak segera mampus?



@



Tikam Samurai - 240