Tikam Samurai - 244

“Anak muda, sudah kukatakan, kami tak ikut campur urusanmu, maka jangan ikut campur urusanku…”
Suara Zendo terdengar perlahan mengingatkan.
“Maafkan. Saya berhutang nyawa pada Zato Ichi. Maka kalau ada orang lain yang menghendaki nyawanya, maka saya harus membantunya….”
“Apakah negerimu tak beradat anak muda. Sehingga engkau bisa demikian saja ikut campur urusan orang lain?”
Muka si Bungsu jadi merah padam. Negerinya dikatakan tak beradat. Amboi! Dia terungat pada Minangkabau. Negeri yang adatnya tak lapuk dek hujan. Tak lekang dek panas.
Negeri leluhur dimana darahnya tumpah ketika dilahirkan. Negeri bergunung megah berlembah indah yang melantunkan rasa rindu. Negeri yang telah mengorbankan ribuan nyawa untuk mempertahankan adat istiadatnya dari jajahan Jepang, kini dikatakan oleh Jepang Gemuk Botak dihadapannya sebagai negeri yang tak beradat!
Dia tersenyum. Tapi jelas senyumnya bukanlah senyum tanda suka hati. Senyumnya jelas membayangkan luka dan amarah yang besar. Barangkali dia takkan semarah itu benar, kalau si gemuk itu memaki dirinya yang tak beradat. Tidak, dia takkan seberang itu benar.
Tapi kini negerinya yang dikatakan tak beradat. Meskipun dia seperti telah dibuang oleh orang kampungnya, oleh anak negeri, namun rasa cinta kampung, cinta negeri di lubuk hatinya tak dapat dipupus hanya karena kebencian orang kampung padanya.
Tidak. Kebencian pada orang kampung, yaitu kalaupun ada kebencian dihatinya, merupakan hal yang terpisah dari rasa cintanya pada negerinya.
“Jangan diulang lagi ucapan yang mengatakan negeri tak beradat….” Suaranya terdengar perlahan. Pendeta yang bernama Zendo itu masih akan melanjutkan seringainya. Namun seringai ejekannya itu dia telan cepat-cepat begitu mendengar suara anak muda itu. Dia jadi tertegun melihat ekspresi muka anak muda itu.
Dan dia tahu suara anak muda yang mirip bisikan itu merupakan suatu peringatan yang berbahaya. Dia menatap wajah anak muda itu. Anak muda itu juga menatapnya dengan wajah yang dingin.
Si Bungsu teringat lagi pada negerinya yang baru sebentar ini dikatakan tak beradat oleh pendeta itu. Meskipun di negerinya itu kini banyak kaum cerdik pandai dan ninik mamak yang mempergunakan adat untuk kepentingan pribadi mereka, namun dia tetap tak bisa menerima negerinya dicerca.
Kesepuluh orang yang ternyata bukan anggota Kumagaigumi itu menatap anak muda tersebut dengan diam. Mereka sudah mendengar tentang kehebatan anak muda ini. Mereka dengar dari cerita di kuil Shimogamo. Mereka dengar dari anggota bandit Kumagaigumi. Mereka menatap dengan perasaan takjub dan ingin tahu. Apakah anak muda ini memang hebat seperti yang diceritakan itu?
Dan ketika mereka tengah berfikir begitu, anak muda itu berkata lagi:
“Di Negeri saya, untuk mau didengarkan orang, maka kita harus mau mendengarkan kata-kata orang. Apa salahnya tuan mendengarkan penjelasan Ichi-san tentang peristiwa itu…”
Zendo tertawa. Untuk pertama kalinya sejak kehadiran mereka di sekitar kuil itu, lelaki ini tertawa. Tawanya merupakan guman perlahan saja. Dan dia sebenarnya adalah lelaki yang berwibawa.
“Apa artinya mendengarkan atau tidak. Sebab apapun yang dia ceritakan saya tak pernah merobah niat untuk membunuhnya. Menuntut balas kematian abang saya…”
“Apakah itu suatu penyelesaian?”
“Ya. Itulah satu-satunya penyelesaian…”
“Tak perduli apakah abang tuan bersalah atau tidak”
“Anak muda, tak perlu segala omong kosongmu itu. Saya tahu dengan pasti apa yang akan saya perbuat. Kini menghindarlah dari sana…!” dan tanpa menunggu reaksi si Bungsu dia memberi isyarat kepada sembilan orang temannya.
Kesembilan orang itu serentak mencabut samurainya dan berjalan menghampiri Zato Ichi. Yang terakhir ini masih tetap duduk dengan tenang dan kepala tunduk di kursi batu tiga depa dari si Bungsu.
Namun si Bungsu melangkah menghampiri Zato Ichi. Dan tatapan matanya serta ekspresi wajahnya kembali membuat kesembilan lelaki itu terhenti.
Anak muda ini nampaknya tak main-main.
“Kalian dengar dulu apa sebabnya perkelahian itu terjadi…” desisnya tajam.
“Kalau saya tak mau?” Zendo balas mengancam dengan muka merah.
“Kalau tuan tak mau, maka tuan harus menyabung nyawa dengan saya…” suara si Bungsu tegas. Dia tak mau Zato Ichi dikeroyok secara tak adil begini. Dia tahu kesehatan pahlawan samurai Jepang itu belum pulih. Barangkalai dia masih akan mampu menewaskan empat atau lima orang. Tapi tak lebih dari itu, setelah itu nyawa tokoh legenda Jepang itu sudah bisa diramalkan. Dibantai oleh bangsanya sendiri.
Namapaknya pertumpahan darah memang tak terhindarkan. Salah seorang bawahan Zendo yang tegak di belakang si Bungsu menjadi berang melihat anak muda ini berlancang mulut menghalangi pimpinannya.



@



Tikam Samurai - 244