Kali ini A Bun mengangguk.
“Kalau demikian, nona itu harus melayani kami juga. Dia harus adil melayani tamu. Jangan berat sebelah…”
“Tuan mau menginap disini atau tidak..?” A Bun bertanya kesal.
“Yes. Yeslah. Yeslah…”
A Bun lalu mencatat nama mereka. Tapi mata kedua orang Australia itu tak pernah lepas dari tubuh gadis Cina cantik itu. Pada pinggulnya yang sintal. Pada dadanya yang ranum. Pada lesung pipit dan senyumhya yang membuat kepala pusing tujuh keliling.
“Anda luka…” suara gadis itu terdengar perlahan begitu dia tegak di depannya. Si Bungsu menatap pada lukanya. Kemudian pada gadis itu. Lalau mengangguk perlahan.
“Anda berkelahi dengan mereka..?”
Si Bungsu menggeleng.
“Lalu kenapa kaki dan tangan anda luka begini..?’
“Digigit kerbau…”
Gadis itu menatap heran pada si Bungsu. si Bungsu menatap pula padanya. Akhirnya gadis itu tersenyum. Manis ekali dengan lesung pipit di pipinya.
“Kenapa senyum. Ada yang lucu?”
“Ya..”
“Apa..?”
“Tentang kerbau itu”
“Apanya yang lucu?”
“Bukankah kerbau yang menanduk anda itu adalah kerbau yang datang kemari pagi tadi?”
Dia melangkah masuk. Gadis itu mengiringkan. Tapi sampai di loby, kedua lelaki Australia tadi memegang tangan gadis itu. Gadis itu menyentakkan tangannya.
“Hei, kamu harus menunjukkan mana kamar kami, nona..”
“Ngomong ya ngomong. Tapi tangannya jangan getayangan ya!”
“Oho-ho! Galak benar si cantik ini. Siapa namamu upik?”
Yang berjambang lebat dan bermata coklat berkata sambil mencowel pipi gadis itu tentang lesung pipitnya. Namun gadis itu mengelak. Dan orang Australia itu mencowel angin.
“Tuan kalau tidak sopan, silahkan meninggalkan hotel ini..”
Kedua orang itu berpandangan. Kemudian tertawa.
“Ah, maafkan. Kami adalah orang yang paling sopan upik. Tentu kami berbaik-baik. Nah, kini tunjukkan dimana kamar kami…”
Gadis itu memberi tanda pada A Bun, dan A Bun membawa kunci berjalan ke belakang lewat gang yang dialas perlak berwarna merah. Kedua lelaki itu mengikuti sambil melemparkan senyum cengar-cengirnya pada gadis tersebut.
Gadis itu menoleh pada si Bungsu. Tapi anak muda itu sudah tak ada lagi. Dia sudah sampai di kamarnya di lantai dua. Disana dia membuka pakaian. Kemudian dengan kelelahan yang tak tertanggungkan dia membaringkan diri setelah meletakkan dokumen tentang sindikat perdagangan wanita itu di dalam kopernya di lemari.
Sesaat setelah dia membaringkan diri, kepalanya terasa berdenyut. Lelah dan kantuk menyerang dengan hebat. Rasa sakit menhentak-hentak. Dan entah mana yang datang duluan, entah tidur entah pingsan. Yang jelas, sepuluh atau sebelas detik setelah dia meletakkan kepalanya di bantal diapun tak sadar diri.
Dan dalam tak sadar dirinya, Salma dan Mei-mei seperti datang merawatnya. Kemudian Hannako dan Michiko. Dia sangat gembira atas gadis-gadis itu. Namun itulah mimpin yang paling buruk seumur hidupnya.
Dia tersadar. Membuka mata perlahan. Yang membuat dia bangun adalah rasa lapar yang tak tertanggungkan. Kepalanya masih terasa berat. Ada bayangan samar-samar. Kemudian ketika dia membiasakan matanya dari cahaya terang. Dia jadi kaget melihat siapa yang di depannya. Dia berusaha bangkit. Namun tangan halus dari gadis yang duduk disisinya mencegahnya dengan halus. Dan gadis itu tersenyum. Dua lesung pipit segera saja membayang dipipinya yang montok.
“Anda harus banyak istirahat….tetaplah tenang…”
Si Bungsu menggelengkan kepala perlahan. Mencoba mengusir rasa pening dan bayangan mimpi yang tak menentu.
Dia memandang ke jendela.
“Hari sudah sore…” katanya perlahan.
“Ya. Dua kali sore. Anda bermimpi banyak sekali…” gadis itu tersenyum lagi. Si Bungsu menarik nafas, kemudian ketika ingat pada lukanya, dia melihat ke pahanya. Namun pahanya tertutup selimut. Dia buka selimut tentang bahunya. Bahunya telah terbalut kain.
“Obatnya telah diganti ayah saya. Ayah punya obat tradisional yang ampuh. Hari ini anda sudah bisa bangkit dan bisa ditanduk kerbau lagi. Lihatlah…!” berkata begitu, gadis tersebut menusuk luka di bahu si Bungsu. si Bungsu yang semula kaget, jadi terheran-heran. Bekas luka di bawah balutan kain itu tak merasa apa-apa lagi.
Dia menatap gadis itu.
@
Tikam Samurai - III