Tikam Samurai - 292

Si Bungsu kaget ketika dia dengar keluhan. Demikian juga orang Australia yang memakai kaos oblong itu. Mereka menoleh, dan dengan terkejut mereka melihat betapa si celana jeans itu tertelungkup mandi darah.
Yang memakai kaos oblong, yang nampaknya berusia sedikit lebih tua segera memburu. Dia memangku tubuh temannya itu dan membawanya ke pinggir jalan.
Orang-orang segera berkerumun.
“Robert…! Robert…!” yang pakai oblong itu mengguncang tubuh temannya itu. Lelaki bercelana jeans itu perlahan membuka matanya. Perlahan darah mengalir dari sela bibirnya. Si kaos oblong menoleh pada orang yang berkerumun.
“Saya bekas Kapten tentara Inggris. Tolong telponkan Rumah sakit Militer untuk mengirimkan mobil dan dokter kemari…” seorang yang tegak menonton segera berlari ke toko di pinggir dermaga.
“Kapten…” yang tertembak itu berkata perlahan.
“Robert…”
“Ingat….ketika kita memasuki Bombay…? Ketika kita menghadapi tentara Ghurka yang memberontak…ingat..?” si celana jeans bertanya. Bibirnya tersenyum tipis. Nampaknya ada kisah nostalgia dalam pertanyaan itu.
“Saya ingat Robert. Saya ingat….engkau terjebak di jalan raya. Dikepung oleh enam Ghurka. Tapi engkau berhasil membunuh mereka semua. Tiga orang engkau sudahi dengan pisau komandomu. Tiga orang lagi dengan pistol Lucer. Engkau harusnya sudah berpangkat Kapten sepertiku. Tidak letnan seperti sekarang…”
Yang muda yang bercelana jeans itu tersenyum.
“Mana anak muda tangguh itu…?” tanyanya.
Si Bungsu tahu, dialah yang ditanyakan bekas tentara itu.
“Saya disini, terimakasih tuan menyelamatkan nyawa saya…”
“Nampaknya ada orang yang menginginkan nyawamu di kota ini…samurai…”
Si Bungsu tak menjawab. Dia ingat betapa tadi dia ditolakkan dengan kuat oleh bekas tentara ini. Ketika dia menduga orang ini akan mencelakakannya.
“Ketika deru mobil itu melaju, saya sempat memandang sekilas. Saya lihat ada moncong bedil…sebagai bekas tentara yang telah kenyang dalam pertempuran, saya tahu, bedil itu diarahkan padamu, makanya engkau saya dorong hingga jatuh…”
“Terimakasih. Saya berhutang nyawa pada tuan, saya takkan melupakan budi tuan…”
Bekas tentara itu tersenyum. Kemudian menatap temannya. Letnan itu muntah darah. Dari kejauhan terdengar sirene. Polisi Militer yang ditelepon segera datang bersama ambulance.
“Dokter datang….Robert…” si kaos oblong yang berpangkat Kapten itu berkata. Namun si celana jeans telah terkulai. Tubuhnya dingin. Matanya layu. Meninggal.
Ketika orang berkuat, ketika Polisi Militer turun, ketika tandu diletakkan, ketika petugas rumah sakit militer itu akan mengambil mayat si Letnan, bekas Kapten yang masih memangkunya itu masih terduduk menatap bekas Letnan itu dengan diam. Tak percaya dia akan yang telah terjadi.
Seorang Polisi Militer berpangkat letnan mendekat dan memberi hormat pada bekas Kapten itu ketika mayat telah diambil dan dimasukkan ke Ambulance.
“Apakah kami dapat tahu apa penyebab pembunuhan ini?” Tanya letnan polisi militer itu.
“Perang…” desis bekas Kapten berkaos oblong itu.
“Perang…” Polisi Militer itu mengerutkan kening. Tak faham dia apa yang dimaksud.
“Ya. Perang! Akan ada perang di kota ini antara bekas Baret Hijau dengan bajingan yang telah membunuh Robert…” suara Kapten itu mendesis perlahan. Kemudian dia bangkit. Menoleh pada si Bungsu yang tegak disisinya dengan diam.
“Maafkan, saya terpaksa tak jadi mengundang anda untuk minum..”
Si Bungsu yang perasaannya tak menentu, tegak mematung. Menatap pada mayat Robert yang telah menyelamatkan nyawanya. Orang-orang Australia bekas serdadu perang dunia ke II itu, benar-benar membuktikan ucapannya tentang nilai sportifitas.
“Jangan khawatir anak muda. Kami takkan berlaku curang. Yang suka berbuat curang biasanya adalah kalian. Orang-orang Melayu. Kami menjunjung tinggi nilai-nilai sportifitas” ucapan Robert ketika menantang dia di kamar tadi masih terngiang ditelinganya.
Sementara itu di Ambulance, pihak perawat dan dokter mencatat segala sesuatu.
“Kapten…ini barang-barang miliknya…” dokter tentara itu menyerahkan rantai dan plat nama yang terbuat dari perak, yang senantiasa tergantung dilehernya. Rantai dan plat nama begitu dimiliki oleh setiap prajurit yang terjun ke kencah peperangan.
Bekas Kapten itu menerima barang-barang tersebut. Dompet, uang dan sapu tangan.
Polisi Militer sibuk pula mencatat keterangan-keterangan para saksi. Kemudian mereka menuju rumah sakit. Ketika segala urusan di rumah sakit selesai, mereka menuju ke markas tentara.
Di kota itu masih ada suatu badan perwakilan tentara sekutu. Yaitu badan yang mengurusi segala sesuatu kepentingan bekas tentara sekutu di Asia Tenggara ini.
Dan Kapten itu nampaknya selain cukup dikenal, juga disegani di sana. Hal itu jelas terlihat oleh si Bungsu pada sikap para tentara yang menerima mereka.
Kapten itu memang sorang komandan Kompi dari pasukan Baret Hijau Inggris yang terkenal itu.



@



Tikam Samurai - 292