“Jenazah Robert bisa dikuburkan setiap saat tuan kehendaki…” seorang Mayor yang mengurus kejadian itu berkata.
“Dia takkan dikubur disini Mayor. Saya minta kalian menerbangkan mayatnya ke Australia. Disana ada anak dan isterinya. Disana jenazahnya harus dimakamkan…”
“Kami akan melaksanakan permintaan tuan. Ini ada telegram dari induk pasukan tuan di Inggris. Menyampaikan duka cita yang dalam atas meninggalnya Letnan Robert..”
Mayor itu memberikan telegram tersebut. Kapten tersebut menerimanya. Tapi tak membacanya. Telegram itu dia simpan dalam kantongnya.
“Kapan tuan kehendaki kami menerbangkan jenazah Robert ke Australia..?”
“Saya akan beritahu dalam waktu dekat…” sambil berkata begitu Kapten tersebut berdiri. Dia memberi isyarat pada si Bungsu untuk ikut.
Mereka menuju sebuah restoran di jantung kota Singapura.
“Saya sangat menyesal atas kematian Robert, Kapten…kalau saya tidak ikut dengan anda, saya rasa dia masih hidup…” si Bungsu berkata ketika mereka duduk dan memesan minuman.
“Jangan menyesali diri Bungsu. kita percaya pada takdir Tuhan bukan? Nah, memang takdirnya sudah harus mati di kota ini. Hanya saja, saya akan membuat perhitungan dengan orang yang membunuhnya. Saya akan mencari jejaknya, dan saya akan menemukan mereka. Dan saya akan membunuh mereka. Saya yakin, mereka berada dalam satu komplot. Dan jika perlu, saya akan berperang dengan mereka. Saya masih punya pasukan di kota ini. Bekas pasukan Baret Hijau yang telah mengundurkan diri seusai perang dunia yang laknat itu…”
“Ini bukan peperangan anda Kapten…ini peperangan saya. Mereka sebenarnya menghendaki nyawa saya. Mereka adalah anggota sebuah sindikat perdagangan wanita…”
Dan si Bungsu menceritakan segala kejadian yang dia alami sehubungan dengan sindikat itu. Mulai dari dia bertemu dengan Nurdin sampai pada detik terakhir mereka ditembak dijalan yang menyebabkan kematian Robert.
“Dan Overste Nurdin ditembak persis ditempat Robert kena tembak. Dia ditembak juga dari sebuah taksi yang dilarikan dengan kencang….” Si Bungsu mengakhiri ceritanya.
Bekas Kapten berbaju kaos oblong itu meneguk wiskinya. Kemudian menatap pada si Bungsu.
“Kini persoalan ini bukan hanya persoalan dirimu Bungsu. juga jadi persoalan saya. Selain disebabkan orang itu telah membunuh Robert, kita telah mengikat persahabatan. Kami memang orang kasar. Umumnya bekas tentara yang keluar dari kencah perang dunia seperti kami memang berperangai kasar. Tapi kami adalah orang-orang yang memuliakan persahabatan. Ah, kalau saja Robert masih hidup, kita bertiga akan bersama-sama menyikat sindikat itu. Jangan khawatir Bungsu, saya masih punya pasukan. Saya akan sebar mereka untuk mencari dimana markas sindikat itu. Selain membalas perlakuan mereka pada dirimu dan pada temanmu yang bernama Nurdin itu, sindikat perdagangan wanita itu memang harus dibinasakan…kita akan bahu membahu…nah habiskan minumanmu. Kita akan segera mulai…”
Si Bungsu tercengan dan merasa haru yang amat dalam mendengar ucapan Kapten itu. Banyak hal-hal yang tak dia duga yang pernah dia temui dalam hidupnya. Antara lain, dia tak pernah menduga bahwa Michiko, gadis yang ditolongnya di Asakusa dan yang sekereta dengannya menuju Kyoto itu, dan yang dia cintai itu, adalah anak Saburo Matsuyama. Anak musuh besarnya!
Dan kini, orang yang akan membunuhnya karena persoalan Mei-Mei di hotel Sam Kok itu. Bekas serdadu perang dunia ke II, tiba-tiba saja beralih menjadi sahabat yang bersedia mati untuk membantunya.
“Terimakasih, Kapten…” katanya perlahan.
Mereka segera saja menyelesaikan minum disana. Kemudian Kapten itu menuju telepon. Kelihatan dia bicara dengan seseorang. Lalu menuju kembali pada si Bungsu.
“Apakah dokumen sindikat itu ada padamu..?”
“Ada. Di hotel..”
“Mari kita lihat..”
Dengan sebuah taksi mereka menuju hotel didepan pelabuhan dimana mereka hampir bertarung dengan pisau kemaren.
Si Bungsu memperlihatkan dokumen itu. Bekas Kapten itu mempelajari sejenak. Dokumen itu mempunyai sebuah peta darurat. Sebagai seorang bekas perwira dari pasukan Komando, tak begitu sulit bagi Kapten itu untuk membaca peta rahasia itu.
Dia kemudian bicara lagi pada seseorang lewat telpon di hotel itu.
“Nah, sahabat. Tinggallah dahulu. Anda istirahatlah. Malam ini kita akan bergerak. Anda akan saya jemput sekitar jam delapan nanti malam..”
Mereka bersalaman. Kemudian bekas perwira baret hijau itu berlalu. Si Bungsu seperti bermimpi saja. Alangkah banyaknya pengalaman yang dia timba dari kehidupan yang dua hari ini.
Dia tengah duduk termenung di kamarnya ketika pintu kamar diketuk. Ketika pintu dia buka, seorang lelaki Barat, mungkin dari Amerika masuk dengan sebuah tas.
@
Tikam Samurai - III