Si Teksas menarik pelatuk pistol. Sebuah ledakan bergema. Tapi pelurunya sudah kelantai arahnya. Si Bungsu menarik samurainya dengan cepat. Si Teksas menggelepar. Jatuh ke tempat tidur. Kemudian kejang. Mati!
Si Bungsu melompat lagi ke dalam lewat jendela. Menyambar dokumen yang terletak diatas meja. Kemudian ketika orang-orang mulai heboh, dia menyelinap keuar.
Begitu dia tiba diliaur, mobil polisi datang.
“Tuan saya tahan…” kata seorang polisi berpangkat letnan ketika seseorang berkata bahwa anak muda itulah yang telah membantai kedua orang dikamar tersebut.
Si Bungsu berniat melawan, tapi tahu-tahu saja tiga orang polisi Singapura telah memegangnya. Dan borgol segera pula dilekatkan ketangannya.
Dia masih ingin memberikan penjelasan. Tapi dia telah dinaikkan ke sebuah jeep berpengawal dan berdinding baja. Jeep spesial membawa tawanan berbahaya. Dan jeep itu segera dilarikan ke markas polisi.
Si Bungsu heran kenapa Kapten Fabian yang berjanji akan datang jam delapan itu tak kunjung tiba. Perjalanan didalam jeep Polisi itu terasa amat lama.
Ketika akhirnya Jeep itu berhenti, dengan terkejut si Bungsu menyadari bahwa dia tak dibawa ke markas Polisi Singapura. Tidak. Gedung dimana mereka berhenti ini adalah sebuah gedung tua di luar kota. Keadaannya sepi saja.
Suatu perasaan tak enak menyelusup kehatinya.
Apakah polisi yang membawanya adalah anggota komplotan sindikat itu? Dia segera di suruh turun. Kemudian dengan tangan terborgol, dibawa masuk. Dia dibawa masuk lewat sebuah lorong yang panjang. Dan sebuah ruangan terbuka.
Dia tertegak dengan tubuh kaku menatap siapa didepannya. Seorang lelaki tinggi besar duduk di sebuah kursi. Di depannya sebuah meja yang penuh oleh bedil. Dan selain lelaki tinggi itu ada tiga orang lagi lelaki yang lain.
Yang membuat tubuhnya terasa kaku adalah lelaki tinggi besar itu. Dia tak lain daripada Kapten Fabian! Orang Australia yang mengatakan menjunjung tinggi nilai-nilai sportifitas itu. Yang berjanji akan membantunya menumpas sindikat perdagangan wanita itu. Kini apa kerjanya disini? Dan ternyata dia pula yang menyuruh keempat polisi Singapura itu menangkap dirinya!
Begitu dia masuk, Kapten itu menoleh.
“Hai. Sanat tidak enak diangkut dengan tangan terbogrol bukan..?” suara Kapten itu terdengar ramah dengan senyum di bibirnya. Si Bungsu tak menjawab. Hanya menatap dengan diam.
Kapten itu memberi isyrat pada anak buahnya. Dan Polisi yang tadi memborgolnya segera membuka borgol itu.
Kapten itu berdiri.
“Nah, Bungsu, ini teman-teman saya ketika di Komando dulu. Itu Sony, sersan spesialis alat peledak. Itu Tongky, negro yang ahli menyelusup kemana saja. Itu Fred, ahli karate. Dan keempat Polisi yang menyergapmu ini adalah empat anggota Green Barets yang ahli dalam pertempuran… tuan-tuan, inilah saudara Bungsu yang saya katakan itu. Seorang anak Indonesia yang ahli dengan samurai. Tidak hanya sekedar ahli, tapi dia memiliki predikat Grand Master dalam hal itu. Selama beberapa pekan di Singapura ini dia sendirian memerangi sindikat perdagangan wanita. Silahkan tuan-tuan berkenalan..”
Si Bungsu jadi malu pada persangkaannya tadi. Dia sangka Kapten inilah komandan sindikat itu. Dia punya alasan untuk berprasangka demikian. Sebab dia dibawa kemari dengan tangan terborgol. Ke tujuh bekas anggota baret hijau itu tegak dan menyalami si Bungsu. Tubuh mereka rata-rata kekar. Ada yang berwajah sadis, ada yang berwajah murung, ada yang biasa-biasa saja. Namun satu hal yang dirasakan si Bungsu tentang orang-orang ini. Mereka semua adalah individu-individu yang tangguh dan kelompok kecil yang sanggup menaklukan satu bataliyon tentara.
Selesai mereka berkenalan, Kapten itu membawa mereka ke ruang sebelah. Di sana ada sebuah kertas besar dengan peta yang dibuat darurat sekali. Mereka segara duduk di kursi yang tersedia.
“Sebelum saya mulai menerangkan detail penyerangan malam ini, kepada saudara Bungsu ingin saya sampaikan sesuatu. Kami telah mengetahui bahwa ada yang akan menyerang saudara ke hotel jam delapan tadi. Ada maksud kami untuk memberitahukan saudara. Tapi ternyata kami harus berpacu dengan waktu.
Akhirnya diambil keputusan bahwa saudara akan kami jemput setelah pertarungan itu selesai. Kami yakin saudara yang akan keluar sebagai pemenang. Untuk mengelabui, maka keempat anggota yang menjemput saudara saya suruh berpakaian polisi.
Dan kalau ternyata saudara yang kalah dalam pertarungan tadi maka keempat polisi ini bertugas menyudahi kedua penyerang itu. Mereka berempat sebenarnya saya beri dua alternatif. Pertama membantu saudara dalam perkelahian itu, atau “menangkap” saudara setelah perkelahian usai.
Ternyata mereka memilih alternatif kedua. Mereka ingin membuktikan apakah engkau memang seorang master dengan samurai seperti yang kukatakan sebelum mereka berangkat menjemputmu”
@
Tikam Samurai - III