Kapten itu menoleh pada keempat “polisi” Singapura yang tadi menangkap si Bungsu. keempat mereka tersenyum.
“Ya, kami menonton saja kejadian itu tadi. Kami datang setelah kedua orang itu turun dari kendaraannya. Kami sudah diberi tahu, bahwa akan ada serangan pada anda. Kami lalu memarkir kendaraan sejauh sepuluh meter. Dan kami melihat anda melompat dengan memecah jendela kaca. Kemudian membunuh kedua orang itu. Nah, ketika orang ramai itulah kami datang menangkap anda…” Polisi gadungan berpangkat letnan yang tadi menyarungkan borgol pada si Bungsu bercerita.
Si Bungsu hanya menarik nafas. Bagi orang-orang sisa perang dunia ini, pertarungan hidup dan mati seseorang rupanya merupakan tontonan yang mengasyikan.
“Nah. Saya rasa perkelanan itu sudah cukup sekian. Kini silahkan lihat detail pada peta ini. Peta ini merupakan gabungan dengan dokumen yang dibuat Overste Nurdin dari Konsulat Indonesia yang saya peroleh dari saudara Bungsu dengan hasil penyelidikan selama 12 jam terakhir.
Malam ini mereka menanti pengiriman dua belas wanita dari Indonesia. Dan delapan orang dari Siam, enam orang dari Hongkong. Semua wanita ini akan dibawa ke eropah dan Afrika. Di kedua negeri itu, wanita-wanita Asia berharga tinggi.
Menurut rencana mereka, yang sempat diselidiki oleh Tongky, wanita itu akan didaratkan serentak”
Kapten Fabian berhenti.
Dia menatap anggotanya. Juga menatap pada si Bungsu. tak seorangpun yang bicara. Dan Kapten itu melanjutkan lagi:
“Sekarang perhatikan ini. Ini peta bahagian Selatan dari pulau Singapura. Ini gugusan pulau di selatan yang masih belum berpenghuni. Pulau yang terletak paling barat ini bernama pulau Pesek.
Barangkali mereka telah mengetahui bahwa gerakkan mereka telah tercium oleh Overste Nurdin. Itulah kenapa sebabnya sejak sebulan terakhir ini, perempuan-perempuan itu tak lagi diturunkan lewat pelabuhan resmi sebagai turis atau sebagai pencari kerja sebagaimana biasanya.
Mereka diturunkan dimalam hari di pulau Pesek ini. Nah, sekarang markas dimana kita berada ini terletak di daerah Bukit Timah. Dari sini kita akan naik jeep sekita sepuluh menit ke tepi sungai Jurong. Dari muara sungai itu kit akan naik sampan layar sekitar dua jam menuju pulau itu.
Jika angin berhembus kencang, dan malam ini menurut Minguel yang ahli meteorologi dalam pasukan kami dahulu, malam ini memang akan bertiup angin utara. Berarti kita akan dibantu sangat banyak.
Sengaja tidak kita gunakan mesin boat, karena kita tak ingin kedatangan ini diketahui mereka. Nah, sampai disni ada pertanyaan?”
Tak ada yang bertanya. Bekas anak buahnya semua pada menatap diam. Mereka seperti mesin-mesin yang siap bergerak bila kenopnya ditekan.
“Jika tak ada yang bertanya, kita bersiap…”
Dan segera saja ruangan itu berisik. Semua anak buah Kapten Fabian kelihatan menukar pakaian, termasuk juga Kapten itu sendiri.
“Bungsu, hari ini engkau kami terima menjadi pasukan Baret Hijau. Hanya orang-orang dengan kemahiran istimewa dapat menjadi anggota pasukan kami. Kami memang telah berhenti dari pasukan itu. Tapi kebanggsaan korp tetap kami pegang. Nah, pakailah pakaian dan baret ini. Engkau layak memakainya, karena kemahiranmu bersamurai dan melempar pisau melebihi anggota Baret Hijau manapun jua!”
Kapten itu memberikan sebuah ransel berisi pakaian pasukan komando pada si Bungsu.
Si Bungsu kaget. Dia menatap pada Kapten itu. Kemudian pada tujuh anggotanya. Dan semua bekas anggota Green Barets dari Inggris Raya itu dengan pakaian lengkap mereka yang loreng-loreng, tegak dengan diam. Menatap padanya. Bulu tengkuk si Bungsu merinding menerima penghargaan ini.
Perlahan dia terima ransel itu.
“Saya, saya tak tahu harus mengatakan apa atas penghargaan tuan-tuan. Saya harap kemampuan saya yang seujung kuku itu, takkan menjatuhkan nama besar pasukan Baret Hijau yang kesohor itu…’ dia berkata perlahan. Semua anggota pasukan Kapten Fabian masih tetap tegak dengan diam.
Si Bungsu membuka bajunya. Memakai pakaian tersebut. Ternyata pakaian itu adalah pakaian bekas. Meski masih baru, tapi dia tahu, pakaian yang dia pakai ini adalah milik seseorang.
Kapten Fabian mengulurkan tangan. Menjabat tangannya dengan hangat.
“Bungsu. pakaian yang engkau pakai adalah pakaian Letnan Robert yang terbunuh di jalan raya ketika kita bersama tiga hari yang lalu. Ternyata ukuran tubuh kalian sama besar. Pakaian ini sengaja kami berikan padamu, demikian juga pangkatnya. Engkau sekarang adalah seorang Letnan Baret Hijau Kerajaan Inggris, Bungsu. atau tepatnya, engkau adalah anggota Komandan Baret Hijau. Oleh karena kami sudah tak lagi dalam pasukan itu, maka kami sama-sama pencinta pasukan itu. Nah, selamatlah…’
Dan ketujuh anggota bekas Pasukan Baret Hijau di perang dunia ke dua itu memberi salam pada si Bungsu. Demi Muhammada dan Malaikat, si Bungsu tak tahu bagaimana perasaannya saat itu. Dia menjadi anggota dari suatu pasukan yang kesohor dalam perang dunia ke II. Ah, alangkah mustahilnya. Namun begitulah sejarah berkehendak.
@
Tikam Samurai - III