Si Bungsu tak berani menatap pada Miguel. Hanya diam-diam hatinya bicara: memang hebatlah waang, kawan…!
Begitu hujan turun dengan lebatnya, Kapten Fabian memerintahkan untuk mendayung. Meski angin bersiut kencang, tapi tak berpiuh seperti tadi.
Dan kini mereka berkayuh melawan ombak dan hujan yang rasanya sebesar-besar tinju menerpa wajah.
Diam-diam si Bungsu melirik lagi pada Miguel si Spanyol yang katanya ahli meteorologi itu lain daripada intuisinya tentang alam yang amat peka. Ahli meteorologi membutuhkan peralatan untuk mengetahui perobahan cuaca. Tapi si Spanyol ini mengetahuinya lewat inderanya.
Si Bungsu teringat lagi peristiwa sebentar ini. Yaitu saat angin utara berhembus meluncurkan sampan layar itu dengan kencang ke arah pulau Pesek. Saat itu Miguel berkata bahwa angin segera akan merobah arah. Dan dia meminta layar agar digulung. Begitu layar digulung, angin memang berobah. Berpiuh-piuh dengan kencang dan tak menentu. Kalau saja layar masih terkembang, tak pelak lagi, sampan karet ini akan terbalik oleh piuhan angin selat pulau Pesek itu.
Kini si Miguel itu tengah berdayung, tanpa mengetahui bahwa si Bungsu sejak tadi mencuri pandang menatapnya.
Dan sampan itu melaju terus. Membelah gelombang. Membelah malam berhujan lebat.
Hampir tuga jam mereka berkayuh ketika akhirnya mereka mendekati pulau Pesek di selatan Singapura itu. Hutan-hutan bakau yang basah menyambut mereka. Mereka harus menunduk dalam-dalam ketika lewat dibawah dahan-dahan bakau tersebut.
Seorang terdengar turun. Kemudian berjalan bergegas mengarungi air setinggi pinggang dan kaki yang terbenam dalam lumpur setinggi lutut. Orang itu tak dikenal oleh si Bungsu karena gelapnya malam. Makin lama suara langkahnya dalam air makin menjauh. Akhirnya lenyap. Tak ada yang bersuara.
Si Bungsu masih terheran-heran. Kemana orang itu? Dan kenapa tak seorangpun yang peduli? Dia tak sempat berpikir jauh. Orang-orang disekitarnya terdengar turun. Sampan karet itu kini tak dapat lagi dikayuh. Mereka harus mengarungi air setinggi betis untuk mencapai daratan.
Tak ada senter. Tak ada korek api yang dinyalakan. Segala sesuatu dilakukan menurut firasat dan petunjuk alam yang amat samar-samar. Untung saja hujan tak lagi lebat.
Si Bungsu juga turun dan ikut menyeret sampan itu hingga mencapai bibir pulau.
Tiba-tiba da getar aneh ditengkuknya. Hm, si Bungsu kini berada dirimba belantara sebuah pulau. Dan dalam rimba dia seperti berada dalam rumah orang tuanya. Ah, sejak meninggalkan gunung Sago di Payakumbuh dahulu, baru kali ini dia berada dalam hutan liar. Dia seperti kembali kerumahnya. Betapa tidak, bukankah bertahun dia hidup di belantara kaki Gunung Sago yang tak kenal persahabatan itu?
Dan setiap dia berada dibelantara itu. Dan dia kenal setiap gerak gerik dan setiap perangai ini rimba tersebut. Mereka mengeret sampan itu makin dekat ke bibir pulau dibawah batang bakau. Firasat aneh itu makin mengencangkan pembuluh darah si Bungsu.
Hutan bakau berakhir. Kini mereka mengarungi semak yang terendam di air setinggi satu kaki. Saat itulah si Bungsu yang tadi berjalan di belakang segera berjalan ke depan. Dia melintasi Donald si ahli senapan. Melintasi Miguel yang ahli metrologi. Melintasi Kapten Fabian.
Karena hutan bakau telah diganti oleh belukar yang tak begitu tinggi, cuaca agak terang ketimbang dibawah pohon bakau yang gelap itu.
Mereka akan melewati sebuah pohon. Dan sedepa dari pohon itu sebuah dahan sebsar betis kaki seperti melenting kearah mereka.
“Awas…!” Kapten Fabian sempat menangkap bayangan itu. Semua anak buahnya merunduk dalam. Namun yang paling depan, ya itu si Bungsu tetap tegak.
Inilah firasat tak sedapnya itu. Batang kayu sebesar betis yang melenting kearah mereka itu. Di ujung cabang kayu itu ada dua titik cahaya merah. Dan sebelum batang itu mencapai mereka, terlebih dahulu tercium bau anyir disertai desis melinukan hati.
Seekor ular rawa berwarna merah berbelang kuning yang amat berbisa! Dan yang dituju kepala ular itu adalah manusia yang tegak di depan sekali. Dia adalah si Bungsu!
Si Bungsu menunduk cepat begitu kepala ular itu meluncur seperti anak panah ke arah lehernya.
Begitu sasarannya luput, kepala ular itu berputar kearah pohon dimana lima meter tubuhnya lelilit sebagai pegangan.
Ketujuh anggota Baret Hijau itu terkesiap. Kaget dan merasa ngeri. Mereka memang manusia-manusia yang tak takut pada maut. Tapi keberanian mereka adalah bila bertempur melawan manusia.
Mereka memang bukan pengecut. Namun diserang ular mendadak begini, nyali mereka jadi ciut juga. Mereka segera ingat pengalaman dua tahun lalu di India. Di Negeri ular itu, tak kurang dari sebelas anggota baret hijau yang kesohor itu mati dipatuk ular berbisa. Tragis memang. Pasukan yang berani mati, yang ditakuti lawan dan kawan, ternyata banyak yang mati digigit ular!
@
Tikam Samurai - III